Lihat ke Halaman Asli

Surprising Vietnam: Da Lat – Mui Ne – Ho Chi Minh

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Journey start!

Perjalanan saya di Vietnam seperti biasa dimulai dengan munculnya promo tiket murah Air Asia. Saya memilih Ho Chi Minh sebagai tujuan dengan harga total tiket pulang-pergi Rp. 2.300.000 untuk 2 orang, dengan waktu keberangkatan di akhir November 2011. Entah apa yang akan saya lakukan di sana, hanya saja di kondisi mental saya saat itu yang sedang sangat jenuh membuat gagasan untuk pergi ke anywhere but here menjadi such a great idea. Saya pergi bersama pacar saya ketika itu yang memang berjiwa backpacker namun tergolong ke jenis yang terburuk, backpacker hedonoplaningtis type. Ini membuat perjalanan ini mahal-melelahkan-namun luar biasa menarik. Perbedaan antara rencana awal (yang dibuat dengan sangat gegabah oleh pacar saya) dengan kenyataan sangat jauh berbeda sehingga improvisasi dan perubahan strategi menjadi hal rutin. Ketenangan dan kekuatan mental harus dimaksimalkan untuk tetap dapat menikmati perjalanan yang padat dan stressful. Mungkin saya bukan tipe orang yang bisa terlalu mengerti makna dari copy iklan A-Mild: “Untuk yang siap mencari dan tersesat. Go Ahead.” I prefer to know where I’m going, but well, that’s just me. Perjalanan dimulai hari Kamis sore ( 24/11/2011) sampai Senin malam (28/1/2011), 5 hari-4 malam. [caption id="" align="alignnone" width="181" caption="Journey start"][/caption] Hari 1: Jakarta – Ho Chi Minh Rencana awal: Sampai di Ho Chi Minh City pukul 08.00 malam. Naik bus No. 52 dari airport ke District 1, beli tiket sleeper train ke Da Lat, makan malam di Pham Ngu Lao street, berangkat pukul 24.00 untuk sampai di Dalat pukul 05.00 pagi. Pemikirannya adalah kalau mau tidur kenapa tidak sekalian di perjalanan, no time wasted. It’s a good idea, but it’ll all went wrong. Kenyataan: Kami take off pukul 04.30 sore dari bandara Soekarno-Hatta pesawat terlambat 30 menit, well ga heran. Perjalanan udara memakan waktu 4 jam. Landing di Tan Son Nhat international airport pukul 08.30 malam. Kami hanya membawa backpack, jadi tidak perlu menunggu bagasi lagi. Membawa koper memang lebih nyaman namun karena kami akan menghabiskan banyak waktu di jalan, tidak mungkin kami membawa koper kemana-mana. Pelajaran pertama, saya berniat membeli peta vietnam dari Jakarta, namun pacar saya meyakinkan saya bahwa peta akan ada di setiap bandara international. Di Bandara Tan Son Nhat tidak tersedia peta Vietnam, dan agen taksi, hotel, travel terlalu pelit untuk memberikan peta secara cuma-Cuma. Lesson #1 Beli atau print peta Vietnam sebelum anda berangkat. Lalu kami menukarkan uang di bandara, ternyata kurs dibandara lumayan bagus, dan di perjalanan kali ini adalah yang terbaik diantara hotel ataupun travel di Vietnam. Namun pastikan anda mengecek seluruh moneychanger di bandara karena kurs mereka tidak semuanya sama. Kami mendapatkan kurs 1 USD = 21.110 Dong. Kami menukarkan 100 USD dan mendapatkan 2.110.000 Dong, dengan masih menyimpan 200 USD di dompet. Kami keluar bandara hendak mencari bus nomor 52, yang menurut pacar saya akan ada di depan bandara untuk mengantarkan kami ke District 1. Kenyataanya, bus no 52 berhenti beroperasi pada jam 09.00 malam. Saat itu pukul 08.45 namun bus yang dicari tidak terlihat dimanapun dan setelah bertanya ke security, bus no 52 sudah berhenti beroperasi hari itu. Lesson #2  JIka tiba di Ho Chi Minh malam, jangan berharap mendapatkan bus. Ini menjadi dilemma, karena di setiap blog dan search engine mengatakan jangan memakai taksi dari bandara, karena harganya akan di dua kali lipatkan. Kami sempat berpikir untuk berjalan kaki menuju District 1 (padahal kenyataannya district 1 sangat jauh dari bandara). Disini kelebihan pacar saya, dia sangat hebat dalam bersosialisasi. Begitu dia melihat ada rombongan yang berangkat bersama kami dari Jakarta, dia langsung menghampiri mereka dan bertanya siapa tour guide mereka. Orang tersebut memperkenalkan kami dengan Bapak Adrian dari konsulat Indonesia untuk Vietnam yang datang menyambut kedatangan rombongan mereka (mereka sedang mengadakan study banding S3 UNJ, yeah right) Disaat inilah kami bersyukur bertemu Bapak Adrian, pemuda yang belajar di fakultas UKI jurusan hubungan internasional yang baru berada di Vietnam 5 bulan. Kenapa? Kami mendapatkan tebengan taksi gratis ke District 1 (save about 8USD for taxi). Dari Bapak Adrian pula, kami mendapatkan informasi bahwa Lesson #3 taksi Mai Linh dan Vinasun adalah taksi yang paling bisa di percaya di Vietnam Tapi jika anda tidak seberuntung kami mendapatkan tebengan gratis dari pejabat di konsulat Indonesia, maka kami tetap menyarankan untuk keluar terlebih dahulu dari bandara untuk mendapatkan taksi Mai Linh dan Vinasun menuju ke hotel anda. Kami turun di Pham Ngu Lao street (kalau dijakarta adalah jalan Jaksa), tempat para turis backpacker dari berbagai negara menginap dan beraktifitas (getting drunk and chasing girls, I mean). Disana sesuai rencana kami hendak mencari agent travel yang menjual tiket sleeper train ke Dalat sesuai rencana. Kenyataannya, Lesson #4 tidak ada jalur kereta dan sleeper bus menuju ke Dalat dari Ho chi minh Di travel, kami sempat bingung dan berpikir perjalanan ini adalah ide terburuk yang pernah kami putuskan. Namun saya berpikir, ini adalah setback yang biasa dialami di setiap backpacker ‘s trip. Kami akhirnya memutuskan untuk membeli tiket bus Phuong Trang (satu-satunya midnight bus ke Dalat) ke Dalat (keberangkatan terakhir pukul 01.00 pagi) seharga 360.000 Dong, berarti sekitar Rp. 180.000 untuk 2 orang.  Kami lalu pergi ke Ben Tannh Market (15 menit jalan kaki) untuk makan malam. Disana kami menghabiskan 155.000 Dong untuk sate babi khas Vietnam, noodle soup, orange juice dan 2 red Saigon beers. Lesson #5 bir di Saigon hanya Rp.5000 atau 10.000 Dong di beberapa tempat makan (Yeeahh baby yeeah) Pacar saya membeli 3 kipas seharga 70.000 Dong (Rp.35.000) yang setelah di beli ditawarkan lagi oleh penjual berbeda seharga 50.000 Dong. :D Then, we're off to Da Lat menggunakan sitting bus Phuong Trang. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Midnite sitting bus, Ho Chi Minh - Da Lat: 7 Hours"]

Midnite sitting bus, Ho Chi Minh - Da Lat: 7 Hours

[/caption] Hari 2: Ho Chi Minh - Da Lat Rencana awal: Sampai dengan segar, setelah tidur di sleeping bus pukul 07.00 pagi. Travelling around Da Lat, Malamnya naik sleeper train ke Mui Ne berangkat pukul 02.00 pagi, sampai Mui Ne jam 06.00 pagi. Kenyataan: Setelah menempuh 7 jam perjalanan penuh penderitaan (sopir yang ugal-ugalan, bus yang tak ber-wc, dan tidur dalam posisi duduk) kami diturunkan diterminal akhir bus Phuong Trang di Dalat pada pukul 08.00 pagi. Disana para penumpang bus yang lain sudah mengetahui tujuan mereka atau tempat mereka menginap (kebanyakan masyarakat Ho Chi Minh), sedangkan kami kebingungan kami belum booking hotel manapun di Da Lat. Kami akhirnya naik free-transfer bus ke pusat kota Da Lat, dan disarankan  oleh supirnya untuk menginap di hotel bernama Thanh Loang (yang pastinya si supir dapet persenan). Awalnya kami ditawarkan kamar seharga 15 dolar, namun pacar saya menawar dan mendapatkan kamar lain seharga 13 dolar atau 250.000 Dong atau Rp.130.000-an per malam. Setelah mandi dan merapihkan barang, kami menyewa motor seharga 100.000 Dong (Rp.50.000) dan berkeliling Da Lat. Diluar dugaan  suhu dan udara di Da Lat layaknya Jepang dan Korea, karena diapit banyak  gunung dan menjadi tempat bulan madu atau liburan warga Ho Chi Minh (layaknya puncak atau bandung bagi warga Jakarta) dan saya begitu menikmatinya. Saya mengendarai sepeda motor dengan gigi gemeretak dan badan menggigil, padahal saya telah menggunakan jaket tebal. Amazing. Lesson #6 Jika anda ke Dalat, bawa baju hangat & Jaket Kami sarapan di restoran dekat hotel, dan mencicipi the famus Pho dan minum seharga 80.000 Dong. Sebelumnya kami membeli peta Da lat di hotel seharga 10.000 Dong dan memutuskan tujuan pertama kami adalah air terjun Datanla. Kami sempat tersasar beberapakali, dan dipersulit dengan fakta bahwa: Lesson #7 Masyarakat Vietnam, bisa disimpulkan, tidak menguasai bahasa Inggris Sesampainya disana saya yakin kalau saya sudah masuk angin duduk (dingin luar biasa!) dengan biaya masuk dan parkir 22.000 Dong. Air Terjunnya indah cuma tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan air terjun di Bedugul Bali. Hanya saja infrastruktur untuk turis, dalam bentuk kereta luncur dan naik ke site air terjunnya sangat-sangat diperhatikan pemerintah setempat. Harga kereta luncur untuk turun  dan naik seharga 40.000 Dong. Kami foto-foto sejenak disana.

Air Terjun Da Tan La - Da Lat

Air Terjun Da Tan La - Da Lat Ada yang menarik mengenai berkendara di Vietnam. Jalurnya berada dikanan, arah sebaliknya di kiri. Ini membutuhkan penyesuaian yang lumayan berbahaya, karena dalam beberapa kesempatan saya lupa dan masuk ke lajur kiri. Lumayan untuk olahraga jantung, though. Berikutnya kami makan siang di salah satu rumah makan dengan menu daging bebek rebus dan bubur. Memesannya pun butuh perjuangan karena harus menggunakan bahasa tubuh, saya tegaskan sekali lagi, masyarakat Vietnam ga bisa bahasa Inggris, at all. Setelah kenyang, kami menuju ke Flower Park: Vuon Huo Thanh Pho, cukup menarik karena bunga-bunga disana tumbuh dengan sempurna dikarenakan udara Dalat yang dingin.

Flower Park - Da Lat

Flower Park - Da Lat [caption id="" align="alignnone" width="553" caption="Flower Park - Da Lat"]

Flower Park - Da Lat

[/caption] Lalu kami ke Cho Da Lat, pusat pasar tradisional Da Lat. Disana segala kebutuhan masyarakat Da lat tersedia, dari ember dan perkakas plastik, bunga, manisan, daging, sampai alcohol tersedia disana. Kami mencicipi martabak telor ala Da Lat disana. Setelahnya kami mengunjungi gereja Cathedral Da Lat (surprisingly, banyak sekali gereja di Vietnam), lalu kami pulang ke hotel untuk istirahat sejenak. Malamnya, kami pergi lagi menjelajah Da Lat. Kami mencoba burger khas Vietnam, beli babi dan bebek panggang dan makan malam di salah satu restoran mie terkenal disana. Babi panggang Da Lat adalah daging babi ter-enak yang pernah saya makan, oishiiii. Saat ini kami menyimpulkan: Lesson #8 Makanan di Vietnam 70% mengandung babi Kami bertualang ke jalan-jalan pelosok Da Lat, mencicipi sate tusuk daging, coffee shop dan sea food pinggir jalan (udangnya luar biasa nikmat), juga foto2 di danau terkenal Da Lat.

Da Lat Lake

Da Lat Lake After that, kami kembali ke hotel untuk istirahat. Sebelum tidur kami memesan tiket bus  ke Mui Ne untuk keberangkatan pukul 8 pagi keesokan harinya seharga 240.000 Dong untuk 2 orang (tidak ada sleeper train ke Mui Ne dari Da Lat). Dan kamipun akhirnya merasakan istirahat normal pertama kami di Vietnam, dengan ranjang dan selimut. Luar biasa nikmatnya hal simple di situasi-situasi tertentu. Di akhir perjalanan saya memutuskan bahwa untuk saya pribadi, Da Lat adalah the highest point dari petualangan kami di Vietnam. Selain dingin yang sangat nikmat, makanan yang luar biasa menarik, dan keramahan masyarakatnya adalah yang terbaik sepanjang perjalanan kami di Vietnam. Hari 3: Da Lat - Mui Ne Rencana awal: Keliling Mui Ne, menginap satu malam lalu kembali ke Ho Chi Minh. Kenyataan: Pagi hari kami sarapan mie instant dan menikmati kopi susu Vietnam, hanya 7000 Dong. Porsi kopinya seperti expresso, dan rasanya unik. I really enjoyed that morning coffee. Bus kami datang menjemput di pukul 07.30. Bus yang kami sangka benar bus, ternyata mobil van yang overload with tourist. Kami harus menempuh perjalanan 4 setengah jam berdesakan dengan turis-turis lain (salah satunya muntah, karena kombinasi dari jalan berliku dan lagi – lagi supirnya gila). Di saat ini saya bisa menyimpulkan: Lesson #9 Semua supir bus di Vietnam Gila Setelah perjalanan panjang  menyakitkan hati dan fisik tanpa bathroom-break, kami akhirnya tiba di Mui Ne pukul 11 siang. Diperhentian akhir bus ternyata juga terdapat hotel. Lelah dengan perjalanan, kami memutuskan untuk langsung memesan kamar tanpa mengecek harga ke tempat lain (beruntung harganya murah) seharga 5 USD per-kepala berarti 10 USD untuk 2 orang per malam. Ini menyimpulkan kalau hotel di Da Lat seharusnya bisa lebih murah dari 13 USD. Disana saya menemukan fakta bahwa banyak turis asing tinggal bertahun-tahun lamanya di Mui Ne. Saya sempat berbincang dengan beberapa diantaranya yaitu Misha dari Rusia, tidak terlalu baik bahasa Inggrisnya, Jeremy  dari Britain dan pacarnya dari Ho Chi Minh yang sudah tinggal disana 3 tahun dan Scott dari Australia, 6 tahun. Mereka banyak beraktifitas di laut sebagai Kite Surfer. Saya menanyakan arah dari tempat yang kami maksud untuk kunjungi disana yaitu Sand Dunes, gurun pasir spektakuler di sebelah pesisir pantai. Mereka mengatakan bahwa lebih baik menyewa motor daripada ikut local tour, karena tempatnya sangat mudah untuk ditemukan. Kami memilih saran mereka dan menyewa motor seharga 5 USD (yang pada akhirnya ditawar oleh pacar saya seharga 3.5 USD karena tidak seharian digunakan). Kami berstirahat sejenak, dan ber wi-fi ria di kamar, disini kami menyimpulkan Lesson #10 Fasilitas Wi Fi di hotel dan resto Vietnam sangat memadai Kami lalu berangkat untuk makan siang di restoran pinggir pantai. Nasi goreng lokal, udang hotplate , orange juice dan 2 botol bir seharga 156.000 Dong (Makanan di Mui Ne cukup mahal). [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Resto seafood - Mui Ne"]

Resto seafood - Mui Ne

[/caption] Di saat itu rokok A Mild Menthol saya habis dan terpaksa membeli rokok local. Jika rokok anda kretek, saya sarankan untuk men-stock rokok anda dari Jakarta, karena rokok lokal hanya ada sejenis rokok putih. Bersyukurlah anda perokok Mallboro. Harga rokok hanya 15.000-25.000 Dong, hati-hati di getok. Lalu kami pun memulai petualangan kami di Mui Ne. Sand Dunes di Mui Ne ada 2 jenis, White and Red. Semua blog mengisyaratkan kalau White Sand Dunes lebih bagus daripada Red Sand Dunes, jadi kami memfokuskan untuk ke White Sand Dunes terlebih dahulu. Saat itu kami menemukan kesulitan besar, selain masyarakat Mui Ne tidak dapat berbahasa Inggris, Lesson #11 Tidak ada signage menuju tempat wisata di Mui Ne Kami sempat berkendara di terik matahari pantai, dengan angin yang luar biasa kencang, pasir pantai berterbangan kedalam mata, tanpa tahu arah. Kami bertanya ke setiap orang lokal yang kami temui di jalan dan yang mereka lakukan hanya menggelengkan kepala mereka. Ini mengherankan karena tempat wisata di Mui Ne tidak terlalu banyak, banyak turis-turis asing berdatangan, namun tidak ada warga lokal yang tahu dimana pastinya tempat tersebut. Entah mereka benar tidak tahu, malas mencoba berkomunikasi dengan bahasa tarzan, atau konspirasi bersama untuk membuat turis terpaksa menggunakan jasa city tour atau guide. Kami bahkan sempat memutuskan untuk memutar balik karena bensin dimotor kami sudah sangat tiris. Beruntung di pom bensin kami bertemu dengan rombongan bule, kebetulan mereka sedang menuju ke White Sands Dunes dengan dipandu oleh guide lokal yang juga sama-sama mengendarai motor. Akhirnya kami mengekor di belakang mereka dan bisa mulai menikmati perjalanan bermotor kami. Kami melewati beberapa tempat-tempat menarik seperti Fisherman Village, pantai bergurun, sampai ke jalan lenggang dengan gurun di kiri dan kanannya.

Fisherman Village - Mui Ne

Fisherman Village - Mui Ne

Road to Sand Dunes - Mui Ne

Road to Sand Dunes - Mui Ne Setibanya di White Sand Dunes, kami langsung terpukau dengan keindahan gurun yang eksotis nan puitis, dan luar biasanya ini berada di Asia Tenggara. Serasa kami melalui pintu ajaib Doraemon dan keluar di Sahara atau Dubai. Sesi foto berlangsung sekitar 2 jam disana, bak foto model dan photographer professional, kami mengeluarkan seluruh kenarsisan, kenorakan, dan semua macam gaya foto yang kami punya. Kapan lagi foto di gurun. :p

Sand Dunes - Mui Ne

Sand Dunes - Mui Ne [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Sand Dunes - Mui Ne"]

Sand Dunes - Mui Ne

[/caption] [caption id="" align="alignnone" width="191" caption="Sand Dunes - Mui Ne"]

Sand Dunes - Mui Ne

[/caption] Puas main pasir kami beranjak untuk main pasir lagi di Red Sand Dunes, yang berada di jalur perjalanan pulang kami ke hotel. Ternyata Red Sand Dunes memang kurang menarik dibandingkan the white one, gurunnya lebih kecil, dan hamparan pasirnya sudah penuh jejak kaki, namun foto-foto tetap wajib ditunaikan. Kelaparan, 2 foto model karbitan ini membeli cemilan dan melanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati sate daging (entah daging apa, tapi enaaak). Kami memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan malam, karena pasir-pasir bahkan sudah masuk ke celana dalam. Kami jalan kaki dari hotel dan makan malam di salah satu restoran seafood pinggir pantai. Menikmati udang, cumi, dan siput (ya, siput sebesar  bola tenis) ditemani bir, vodka dan debur ombak dan angin malam. Nikmaatnya hiduup.

Keong Raksasa - Mui Ne

Keong Raksasa - Mui Ne After that, yang tersisa di pikiran hanya ranjang, namun ternyata kami harus melupakan angan untuk beristirahat sepuasnya di kamar. Sebelum tidur kami hendak memesan tiket bus ke Ho Chi Minh untuk besok pagi. Diluar rencana dan dugaan, seluruh tiket bus ke Ho Chi Minh keberangkatan besok (hari minggu), full booked. Menurut petugas hotel, hari minggu memang harinya para turis domestic dan internasional kembali ke Ho Chi Minh, jadi book tiket jauh-jauh hari, atau Lesson #12 Rencanakan perjalanan dari Mui Ne ke Ho Chi Minh di hari kerja. Kami harus mengambil keputusan antara berangkat di subuh pukul 01.00 dini hari minggu (which is 3 jam lagi) atau di hari senin. Kami memutuskan untuk mengambil option pertama (yang pada akhirnya kami simpulkan sebagai option yang salah) seharga 240.000 Dong untuk 2 orang setelah ditawar oleh pacar saya. Sesampainya di kamar, kami langsung packing dan tidur-tidur ayam. Pukul 01.00, dengan susah payah menahan kantuk kami menaiki bus,dan mengucapkan selamat tinggal kepada keindahan Mui Ne. Hari 4: Mui Ne – Ho Chi Minh Rencana awal: Kami naik bus pagi dari Mui Ne (sekitar pukul 9 pagi), tiba di Ho Chi Minh siang hari (sekitar pukul 12 siang), mencari hotel, menyewa motor dan keliling Ho Chi Minh. Kenyataan: Kami tiba di Pham Ngu Lao street pukul 05.30, dengan langkah gontai karena kantuk, kami masuk lebih dalam ke kawasan backpacker untuk mencari hotel murah. Satu per satu hotel kami masuki dan mendapati fakta bahwa harga hotel di Pha Ngu Lao street sangat beragam, mulai dari 30 USD sampai ke 15 USD. Akhirnya kami mendapatkan hotel dengan harga 13 USD. Sebenarnya pacar saya yakin bisa mendapatkan harga lebih baik lagi, namun saya memutuskan untuk menginap di hotel itu. Selain faktor kelelahan, dan lengketnya badan, saya juga berpikir untuk cepat taruh barang dan mengikuti city tour. Setelah mandi dan wangi, kami pergi ke travel dan mendapatkan paket tour Mekong Delta seharga 10 USD per-orang. Saya ngopi sejenak, sedangkan pacar saya membeli burger untuk sarapan di tour bus, dan kami berangkat ke Mekong Delta yang terletak di My Tho. Di tour ini kami diajak ke 3 pulau: Phoenix, Dragon, dan Unicorn Island. Disana kami mencicipi madu lokal, foto bersama ular, makan buah-buahan lokal, naik sampan (yang mendayung nenek-nenek berstamina tinggi), mencoba whisky dari pisang, kelapa, dan beras.

Mekong Delta

Mekong Delta

Mekong Delta

Mekong Delta Tournya tidak istimewa, I don’t realy like it. Sungainya berwarna coklat dan udaranya panas. Jadi lebih baik saya membahas sebuah fakta Lesson #13 Warga lokal Ho Chi Minh sangat money-oriented Ini berawal dari makan siang dari tour hanyalah nasi, 2 daging kecil, dan sup. Jika ingin makanan yang lebih, dan bahkan minumannya harus bayar ekstra. Disini saya mulai merasakan mentalitas yang kurang baik dari warga Ho Chi Minh. Lalu di tengah tour kami berbincang banyak dengan para anggota tour yang lain, kami mendapatkan fakta bahwa harga tour ini ternyata beragam. Turis dari Jepang dan Jerman mendapatkan harga 30 USD namun untuk 2 hari tour, turis dari Israel, 20 USD per orang dan yang paling sial adalah rombongan turis dari hongkong, yang memesan tiket dari hotel, mendapatkan harga 30 USD untuk satu orang. “This is a scam!” komplain mereka. Kami yang mendapatkan harga 10 USD per orang hanya bisa bersyukur. Lesson #14 jangan ikut tour dari hotel, lebih baik keluar dari hotel anda dan cari agen travel Lalu untuk harga hotel, sebagian dari mereka harus membayar hotel seharga 40 USD semalam dengan kualitas hotel yang setara dengan kami, yang sangat pas-pasan. Namun, karena mereka book online, jadi tidak ada pilihan lain kecuali pasrah. Lesson #15 Jangan pernah book online untuk hotel di Vietnam, kecuali uang bukan masalah untuk anda Disaat inilah ketidaknyamanan saya di Ho Chi Minh dimulai. Kami harus selalu fokus agar tidak membayar terlalu mahal, dan selalu curiga di tipu penjual. Ini jelas mengurangi kenikmatan berplesir namun lebih baik dianggap sebagai tantangan. Contohnya, pacar saya hendak membeli tebu potong, penjualnya langsung memberi harga 20.000 Dong. Ketika pacar saya tinggal jalan, harganya langsung turun jadi 10.000 Dong. Contoh lain lagi bir di resto itu 20.000 Dong, di Circle K hanya 11.000 Dong. Saya mengerti ini adalah hal yang wajar terjadi, dimana para warga lokal memanfaatkan kesempatan menaikan harga untuk mengambil keuntungan lebih dari turis asing, namun karena turis merasa tertipu, itu menimbulkan preseden buruk yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan keuntungan kecil semata. Lesson #16 Selalu waspada ketika mengeluarkan uang di Ho Chi Minh Tour selesai di pukul 04.00 sore, kami kembali ke hotel, mandi dan siap jalan kaki untuk makan malam. Malam di Pham Ngu Lao sangat festive dan mengesankan, di setiap sudut bar-bar bertebaran lengkap dengan wanita-wanita cantiknya siap menguras dompet bule. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Pham Ngu Lao street - Ho chi Minh"]

Pham Ngu Lao street - Ho chi Minh

[/caption] Kami menemukan banyak jajanan emperan dengan meja dan bangku plastik kecil mejadi tempat nongkrong yang ramai. Kami memutuskan mencoba merasakan suasananya dan memilih jajanan yang lumayan beresiko untuk kesehatan perut kami, yaitu jajanan siput dan kerang. Surprisingly, tiger snail dan kerang tahu disana sangat enak. Racikan bumbu dan rasanya kenyal dagingnya yang unik menjadikan jajanan itu makanan favorit saya di Ho Chi Minh.

Cemilan beresiko tinggi - Tiger Snail & kerang tahu

Cemilan beresiko tinggi - Tiger Snail & kerang tahu Kami lalu bertualang dengan berjalan kaki di sekitar area District 1, ke gereja St. Philipe, hotel-hotel bintang 5 sampai akhirnya ke Ben Thanh market dan merasakan betapa Lesson #17 Menyeberang jalan di Ho chi Minh adalah kegiatan menantang maut yang rutin dilakukan Di Ben Thanh market, kami makan malam dengan fresh rice salad (yang ternyata tidak fresh) dan Mie bebek. Ga enak. Setelah itu kami berkeliling sebantar untuk mencari baju dan mungkin beberapa souvenir untuk dibeli, tapi ternyataharga disana sangat tidak masuk akal dan harus mengeluarkan urat ntuk menawarnya karena kalau tidak, kita akan tertipu mentah-mentah dan akhirnya kami memutuskan membeli 2 baju seharga 100.000 Dong untuk aktifitas esok harinya karena kami sudah kehabisan baju ganti, lalu kami pun pulang untuk istirahat. Hari 5: Ho Chi Minh - Jakarta Rencana awal: Ikut city tour Ho Chi Minh dan berangkat pulang ke Jakarta Kenyataan: Kami sempat berpikir untuk menyewa motor di hari terahir dan keliling Ho Chi Minh sendiri, namun karena kondisi lalu lintas yang sangat luar biasa semrawut (Ini berasal dari mulut orang Jakarta, loh!) didukung dengan tidak adanya warga lokal yang bisa memberi informasi dalam bahasa Inggris, juga peta yang sampai saat ini belum juga kami miliki, kami memutuskan untukmenghabiskan hari ini dengan mengikuti city tour Ho Chi Minh. Disaat inilah saya menyadari kalau kami mengambil keputusan yang kurang tepat meninggalkan Mui Ne di hari Minggu dini hari, seharusnya kami menikmati pantai Mui Ne lebih lama dan berangkat ke Ho Chi Minh di hari Senin dini hari atau pagi. Ho Chi Minh bukan merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi lama-lama. Udara yang lembab seperti Jakarta, polusi yang semerbak, tempat-tempat wisata yang sangat standart, ke-kurang ramahan dan mental materialistis masyarakatnya, adalah faktor-faktor yang membuat kami kurang merekomendasikan Ho Chi Minh untuk dikunjungi lama-lama. Kami check out dari hotel dan menitipkan barang bawaan kami di travel, dan pada pukul 08.00 pagi kami memulai city tour kami yang sangat membosankan. Kami memulai tour dengan hanya 4 orang, 1 guide, dan satu supir. Anggota tour awal adalah saya, pacar saya, Patrick, dan Tue dari Los Angeles. Pertama kami dibawa ke War Museum, disana seperti namanya adalah museum tentang perang. Saya tidak suka museum dan perang, but hey, might as well enjoy it, right? Terdapat kesalah-pahaman di awal tour dimana ternyata kami harus membayar tiket masuk, sedangkan di awal agen travel nya mengatakan kami tidak harus membayar apapun. Pacar saya yang berdarah panas berargumen keras dengan tour guide yang kurang berbakat dalam melayani turis. Pada akhirnya, guide kami mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Didalam gedung, terdapat foto-foto perang yang ternyata sangat artistik. Lebih dari sekedar jurnalisme namun karya seni yang dihasilkan dengan bayaran nyawa. I surprisingly amazed, dengan dedikasi war photographer dalam memenuhi panggilan hidup dan nasib mereka.

Salah satu foto yang memukau dari Time Magazine

Salah satu foto yang memukau dari Time Magazine I learned something new, and I liked it. I think this is the highlights of the day. Kami juga sempat berfoto didepan kendaraan perang Vietnam. Next stop, kami dibawa ke toko oleh-oleh untuk mencoba dan akhirnya membeli cemilan, kopi, dan teh. Kami tidak membeli apapun. Disini anggota tour kami bertambah, Marco dan istrinya dari Holland, dan pasutri dari India. Berinteraksi dengan mereka menjadi penyegar bagi tour yang membosankan ini. Berikutnya kami diajak ke Chinese Temple. Hanya klenteng normal yang biasa terlihat di Jakarta, nothing special about it, dan ke Chinese Market – Pasar paginya Ho Chi Minh. Boring. Then, lunch, yang lagi-lagi sangat sederhana, nasi goring tanpa rasa dan sup. Lesson #18 Bawa cemilan atau ransum ketika mengikuti tour di Ho Chi Minh Setelah “kenyang” tujuan berikutnya adalah Presidential Palace, Gereja Notre Dame, dan gedung Post Office. Tidak perlu dijelaskan, karena memang tidak ada yang bisa dijelaskan. Guide kami hanya mengutarakan apa yang dia lihat, seperti: “Ini adalah ruang tamu presiden, ini kamar tidur presiden, ini adalah gereja Notre Dame”  – yeah, I can see that. There’s a sign that say it. Kapan dibangun? Filosofi dari lukisan yang digantung? Mengapa arsitekturnya sangat Europe? Jangan harap dijelaskan, saya juga yakin kalau dia tidak tahu.

Presidential Palace - Ho Chi Minh

Presidential Palace - Ho Chi Minh Tour selesai, kami turun di Ben Thanh market untuk membeli oleh-oleh. Fakta baru, yang mengatakan Ben thanh market itu pasar murah untuk membeli oleh-oleh mungkin dibayar oleh pemerintah setempat karena Lesson #19 Harga barang-barang di Ben Thanh market tidak lebih murah dari Mangga Dua Jika anda bisa mendapatkan harga lebih murah, berarti anda telah ngotot-ngototan dan dimaki oleh para penjual disana. Kami membeli gantungan kunci, pajangan, dan kopi untuk oleh-oleh. Jika anda lapar, jangan makan di Ben Thanh, pergi keluar sedikit dan harganya sudah 50% lebih murah.

Sesaknya Ben Thanh Market

Sesaknya Ben Thanh Market Saatnya pulang. Kami sebelumnya telah mem-book taksi ke bandara di Travel yang sama, seharga 8 USD.  Pacar saya yang sigap telah melakukan check-in online di internet Travel. Saya berjanji untuk merekomendasikan travel ini karena kami telah mendapatkan harga jauh lebih murah dari turis lain yang mengikuti tour yang sama, pelayanan yang ramah, dan petugas yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tan 58 Hotel & Travel yang menyediakan jasa travel dan juga room seharga 10USD permalamnya beralamat di 58 Bui Vien Street., Pham Ngu Lao Ward, District 1, HCMC (Email; tp_dang@yahoo.ca) Berangkat dari bandara Tan Son Nhat pukul 09.00 malam, delay 1 jam. Sampai di Soekarno Hatta pukul 12.00 malam. Berakhirlah petualangan kami di sebagian Vietnam yang penuh kejutan, good and bad ones. Kami berniat kembali ke Vietnam untuk mengunjungi Hanoi,  Sapa, Hoi An, dan Halong Bay. Semoga pengalaman ini bermanfaat and have a safe trip, guys. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Vietnam from above"]

Vietnam from above

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline