Lihat ke Halaman Asli

Elyanor Part 2

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tian tampak sibuk bercengkrama dengan notebooknya. Memainkan jemarinya di atas huruf-huruf keyboard dan sesekali tertawa kecil, aku memperhatikannya dari jauh dan melangkah mendekatinya. Di cafe ini, kami biasa menghabiskan sore hari dan berbagi cerita. Masih di bangku favorite, dengan pemandangan dan menu yang sama.

“sudah latihan hari ini?” aku meletakkan tas dan menggeser kursiku sedikit ke kanan, mendekatinya. Ia kaget dan buru-buru menutup netbooknya. Ia tersenyum lebar dan menggeleng pelan. “nanti malam saja, temani aku seperti biasa”. Aku tersenyum sekaligus mencium sesuatu yang aneh. “mengapa kau tersenyum begitu lebar?”

“apa salahnya aku tersenyum, tidak ada apa-apa sungguh.” Jawabnya kikuk. Aku menaikkan alisku dan menatapnya tajam.

“hentikan....” ujarnya seraya tertawa. “ngomong-ngomong bagaimana dengan murid misteriusmu itu?”

“ahh...” aku meregangkan kedua tangan dan terdiam beberapa saat. Kata-kata “hamil” itu masih terngiang-ngiang berulang kali lebih keras kali ini. Kevin sama sekali tidak memberikan respon sekalipun hingga akhir perbincangan. Ia hanya meninggalkan wanita itu begitu saja.

“namanya Kevin, dia anak orang berpengaruh di yayasan itu....”

“sudah kuduga...lalu, lalu? ”

“tidak ada yang menarik, aku hanya...tidak suka membahas tentangnya.” Aku tersenyum ke arah Tian Bahasan tentang anak ini membuatku tiba-tiba saja kehilangan nafsu untuk melakukan apapun, Kelakuannya, Perlakuan dari pihak sekolah yang mengistimewakannya, serta kejadian tadi siang barusan membuatku semakin tidak menyukainya.

“eh, mengapa tadi kau kikuk dan tersenyum lebar?” aku kembali mengoda Tian sambil menunjuk-nunjuk notebooknya. Tian terdiam dan melemparkan pandangan ke sekeliling.

Aku mendesis pelan.

‘mbak,” ia mengalihkan pembicaraan dengan memanggil pelayan cafe. “Sirlon Aussie Steak dan ice lemon tea, dan untuk wanita cantik di sebelah saya ini tolong Sirlon Aussie Steak ditambah dengan Bluebarry Smootish....” ujarnya dengan senyum yang masih mengembang lebar.

_____________________________

Dentingan Piano mengalun, berkejaran membentuk melodi yang nikmat untuk didengar. Suaranya merdu, menggema diruangan bercat putih berlantai putih ini. Disini, disalah satu ruangan petak di rumah Tian ini, kami biasanya menghabiskan waktu bersama, kadang hanya menontonnya memainkan piano, kadang ikut-ikutan belajar sekedar menganggu waktu latihannya, atau melukis, seperti yang sedang aku lakukan saat ini.

“Douze Esquisses op 41, Charles Koechlin....” Ujar Tian seiring dengan jemarinya yang perlahan berhenti, ia menoleh kearahku yang sibuk mengarsir sosok di dalam buku sketsa. Aku tersadar dan mengeluarkan kata “apa” agar ia mengulang perkataannya.

“salah satu lagu yang akan kumainkan...” ujarnya seraya tertawa melihat wajahku yang melongo bingung. “bahasa musiknya indah, aliran impresionistik, karakter dan suasana yang khas, berwarna...bagaimana menurutmu tentang Charles Koechlin?”

“aku tidak mengerti tentang musik, Tian...tapi itu indah sekali....” ujarku seraya melanjutkan lukisanku. Tian tersenyum puas dan mengangguk pelan. Tian memperhatikanku lama, tersadar, memperhatikanku yang kelewat menikmati duniaku sendiri.

“apa yang kau lukis?”

“ah!” aku kaget dan menutup buku sketsa secara cepat. “ini....rahasia!”

“jadi dia seseorang yang kau suka....” ia menebak sambil memainkan telunjuknya kearahku sesaat setelah rona merah muncul di wajahku, panas. Tian tersenyum kecil menggodaku yang tengah mendengus kesal. Kualihkan pandanganku kearah jam dinding yang dari tadi berdetak teratur. Jarum-jarumnya menunjukkan bahwa waktu sudah tengah malam.

“lebih baik aku pulang sekarang,” ujarku seraya beranjak membereskan barang. Tian bergumam baiklah dan beranjak dari hadapan grand piano hitamnya. Ia kerap mengucek matanya dan menguap beberapa kali seraya mengantarku ke depan rumah. Ia kelelahan.

“Elyanor...tentang hal yang akan aku sampaikan nanti, ketika resital piano nanti....” ia berdehem sejenak sesampainya aku di luar, di teras rumahnya, “Douze Esquisses....artinya 12 sketsa....”

Aku tersenyum dan mengangkat kedua bahuku,“lalu....?”

“ini tentang seseorang yang aku suka....ia sangat suka sketsa...” ujarnya seraya melambaikan tangan, meninggalkanku yang mematung, dengan wajah yang semakin merona merah.

________________

Ia memandangku tajam. Masih seperti tatapan beberapa hari yang lalu. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Berjalan mondar-mandir dihadapannya berulang-ulang. Kevin, murid pembuat onar kini tengah berada dalam satu ruangan denganku.

“baiklah.” Ujarku kemudian menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan dengannya.

“apakah kau tahu mengapa kau dipanggil ke sini?”

Ia melengos, memandang ke arah lain. Berpura-pura tidak mendengar dan memaksaku mengulang pertanyaanku untuk kedua kalinya. Aku menghela nafas panjang. Kemudian sejenak ikut-ikutan menebar pandangan. Terdapat sebuah ranjang panjang dan meja yang diatasnya terdapat obat-obatan dan peralatan kesehatan. Ruang UKS kini menjadi saksi dari keheningan panjang yang sengaja aku ciptakan untuk memberikan ia waktu berfikir.

“apalagi salahku?”

Dua kata itu meluncur pelan dari mulutnya, tapi dengan tatapan yang tetap tidak kearahku.

“kamu tahu salahmu....itu sangat jelas...”

Kami berdua terdiam. Aku pun menarik nafas dan memandangnya. Seberapa besarpun ketidaksukaanku padanya, aku tersadar tentang profesiku. seorang guru tidak akan membiarkan siswanya tersesat tanpa memberi bantuan apapun. Dan aku tahu Kevin sedang menghadapi masalah yang begitu besar. Itulah sebabnya ia kupanggil keruangan ini, menghadapiku, berbicara empat mata saja.

“kevin, Ibu hanya berusaha membantu karena ibu peduli. Ibu mengerti saat ini kamu sedang menghadapi masalah yang pelik. Sebagai Gurumu, ibu ingin membantu. Ceritakan apa yang terjadi, apapun yang mengganggumu. Ibu akan mendengarkan untukmu....”

“baik...berapa?”

Aku terdiam. Mengernyitkan dahi dan memandangnya lama. Aku sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan bocah ini. Ia tersenyum. Kemudian merogoh saku di belakang celananya. Ia mengeluarkan sebuah dompet abu-abu dan mengambil beberapa lebar kertas ratusan ribu kemudian menunjukkan kearahku. Tepat di depan dahiku.

“ini cukup? Berapa?”

Aku kaget dan memandangnya tak percaya.

“bukankah setiap aku punya masalah, ini artinya kalian para guru membutuhkan ini?”

“Orang tuamu terlalu memanjakanmu.” Ujarku seraya bangkit dari tempat duduk dan melangkah mendekatinya. Kutarik uang yang ada ditangannya kemudian kulipat menjadi dua. “murid sepertimu, aku tidak akan menyerah....” lanjutku sambil memasukan lipatan uang itu kedalam saku bajunya. Ia masih memandangku tajam, sama seperti biasanya.

“simpan uang itu untuk anakmu, Kevin.”

*bersambungg**

_____________________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline