Lelaki itu bersandar pada sebuah tembok kotor dan berlumut, pundaknya bergerak naik turun dengan cepat, terengah-engah. Dia melihat ke arah jalan raya yang kini telah dibanjiri manusia. Asap tebal membumbung tinggi dari bangunan yang baru saja dibakarnya, gereja ketiga dalam bulan ini.
---
"Orang sini, Mas?" Seorang pria cukup berumur menegurnya ketika dia baru saja duduk di sebuah warung. Galuh menggeleng pelan, nafasnya belum cukup teratur untuk membuka mulut dan berbicara.
"Datang dari arah mana?" Pria berumur itu kembali bertanya setelah yang diajak bicara memesan segelas teh manis dingin. Galuh menunjuk ke satu arah.
"Oh, berarti liat kebakaran gereja di sana, Mas?" Pria itu menaikkan intonasi bicaranya.
"Orang gila mesti itu yang bakar. Gak menghargai agama lain. Kaum fanatis yang lebih mirip preman!"
"Tapi sebulan yang lalu di daerah Utara, empat mesjid dibakar juga lho, Pak!" Penjaga warung ikut angkat bicara, sambil meletakkan gelas di hadapan Galuh.
"Yaa.. Memang sudah gila semuanya, Dek! Balas-balasan bakar rumah ibadah.. Sok ngebela agama. Lah, lucu.. Tuhan kok dibela!" Si pria berumur menanggapi.
Galuh meneguk teh manis dingin di gelasnya dengan cepat hingga tandas. Kemudian meletakkan selembar uang lima ribu di atas meja.
"Maaf, saya buru-buru. Mari, Pak.." Galuh beranjak keluar.
---