Lihat ke Halaman Asli

Penjemput Hidup

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seribu macam suara memadati telinga. Gesekan ban pada serbuk aspal, suara penjaja makanan, klakson yang bersahutan, ucap-ucap diselingi tawa, ada suara angin, gemuruh hujan di kejauhan, langkah kaki, teriak kernet yang bergantung di tepi pintu bus setiap kali berhenti, bunyi peluit pak polisi berseragam, ada yang memaki. Kubuka mata yang sejak tadi terpejam, lelaki berbadan kurus dengan pakaian kumal terengah-engah berlari. Aku masih duduk diam di halte ini.

Mobil lalu lalang di jalan yang mulus dan mulai lengang. Semua dalam gerak serba cepat, hingga cahaya lampunya lebih menyerupai garis berwarna putih. Lambaian tangan, kopaja memanggil untuk ditumpangi, seperti adegan berdansa boneka tali, pemegang kendali mungkin si terpanggil Sang Pencipta. Pergantian tiga warna lampu pada tiang di ujung jalan, secepat bias menjadikannya pelangi mini di malam hari. Aku masih duduk diam di halte ini.

Tukang koran menjual sisa oplah dengan harga terlalu murah, pemuda tanggung dengan topi berwarna coklat mengabu penuh debu. Perempuan berbadan kurus dengan kacamata yang melihat jam tangannya secara berkala. Bocah lelaki yang berjalan terseret mengikuti langkah ibunya. Seorang lelaki tua dengan plastik makanan berlabel merk junk food terkemuka di sebelah tangan, air wajahnya cerah ceria berbicara pada sebuah telepon genggam yang dimatikan setelah berpesan agar anaknya sabar menunggu kepulangan si bapak. Tak lagi terlalu cepat, meski suara tetap memadati kepala. Aku masih duduk diam di halte ini.

Seorang pengendara motor masuk ke jalan Busway yang tak seharusnya dilintasi kendaraan roda dua. Dalam gerak lambat kulihat sepeda motornya terangkat oleh pembatas jalur yang agak tinggi, hingga tubuhnya jatuh di balutan aspal bercat merah. Helm di kepala melayang beberapa meter agak jauh. Belum sempat dia menyadari yang terjadi, roda bus melindas kepalanya. Menyempurnakan warna merah di bawah. Aku bangkit dari duduk diamku di halte ini.

Kualihkan pandangan ke arah kiri, kepada nenek tua yang berdiam diri di lantai sudut halte, dengan rambut putih acak-acakan dan baju menghitam karena noda, memandangku tak berkedip. Aku tersenyum padanya.

"Besok malam, aku datang lagi."

Dia mengangguk, memamerkan giginya yang besar dan kuning. Beberapa orang memandangnya heran dan jijik. Mungkin terheran melihatnya tersenyum pada sekumpul udara kosong.

Bunyi gemuruh sekali adalah pertanda, sudah waktunya. Kuhampiri lelaki pengendara yang terkapar mati. Menembus kerumunan dan menjemput kehidupan, membawanya pergi sebelum turun hujan.

Stabat, 12 Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline