Aku mematikan rokok di tangan dengan gerakan asal-asalan pada asbak kaca di atas meja. Televisi di depanku memutar sebuah film Hollywood tahun lawas, aku lupa judulnya, tanpa suara, aku ingat tadi aku yang mematikannya agar perhatian tak teralih.
Perempuan itu masih bertahan di posisi yang sama, di tepi tempat tidur sebelah kiri, menekuk lutut yang dipeluk kedua tangannya, menghela nafas hampir setiap tiga puluh detik. Sesekali matanya melihatku, dan saat aku membalas tatapannya, dia akan membuka mulut seolah ingin berbicara. Kalau sudah begitu, aku segera memalingkah wajah ke arah televisi, mengisyaratkan aku malas menanggapi.
Kubuka sebuah bungkus rokok yang masih baru, membakar sebatang lagi dengan sekali petikan korek api di tangan kanan. Bungkus kedua dalam waktu satu setengah jam kami berdiam diri di dalam ruangan ini. Bungkus kosong yang satu telah kuremukkan dengan sebelah tangan dan tergeletak hampir jatuh di sudut meja.
"Sudah, jangan merokok lagi," perempuan itu menegurku pelan. Aku hanya menatapnya dengan pandangan tanpa arti. tak berbicara sepatah kata pun, lebih mirip tidak memperdulikan.
"Maaf," dia kembali mengeluarkan suara.
"Sudah dimaafkan," aku menjawab tersenyum, hambar. Perempuan itu menghela nafas kencang untuk kesekian kalinya, aku tertawa kecil.
"Hey, harusnya aku yang bersedih. Jangan mengambil alih peran," kataku santai.
Kami kembali tenggelam dalam hening. Kegiatan di ruangan itu hanya seputar gambar yang bergerak-gerak di dalam kotak persegi, bunyi pendingin udara yang mendengung pelan, serta tanganku yang statis membuang abu rokok ke atas asbak yang sudah penuh puntung-puntung rokok sebelumnya.
"Aku persilahkan kau menamparku," perempuan itu berkata pelan sambil menunduk, menatap kedua kakinya. Aku tertawa agak keras kali ini.
"Ah, sampai mati pun aku tak akan begitu," aku menjawab singkat.
"Tapi itu akan menjadi hukuman yang lebih mudah," katanya lagi. Tak bereaksi menanggapi, aku malah bangkit setelah batang rokok di tanganku habis terhisap.