Cerpen Andika Widaswara
Detak... detik...
Sore. Sebuah cafe. Secangkir kopi. Menunggu. Setengah jam berlalu. Secangkir kopi blm jua berteman. Pun denganku. Kubuka lagi sms yg dia kirim di pagi buta. Bahkan sebelum aku membuka mata. Tak banyak memang. Singkat juga padat.
"Oke, tunggu aku jam 15.30."
Terkadang sesuatu berjalan tak adil. Aku mengirim 22 sms hanya untuk jawaban itu. Pun sekarang ini. Masih harus menunggu. Menghibur diri dengan menyeduh kopi yang tinggal separuh. Menghabiskan berbatang-batang rokok dan membuang asapnya jauh-jauh. Sangat ingin moment ini segera berlalu.
16.05.
Gerimis. Perempuan. Setengah berlari.
"Sory telat, udah lama nunggu?"
Klise. Seolah biasa, tanpa salah. Aku hapal dengan kalimat itu. Mestinya aku marah. Tapi untuk urusan satu ini banyak orang yang rela diperlakukan tak adil. Setengah jam lebih aku memaki-maki dia serta mengumpat-umpat pada diriku sendiri. Hilang. Seperti gerimis yang langsung menghapus jejak kaki. Menggantinya dengan air. Luluh.
Dengan segenap pengantar lengkap ia uraikan keterlambatannya. Persis calon anggota dewan yang berpidato di depan khalayak untuk menjual diri. Senyum yang selalu mengembang. Aku benci. Benci pada diriku yang masih menyajikan senyum. Bahkan senyum terindah yang pernah kumiliki. Menuruti perasaan terkadang justru menghasilkan hal-hal yang bodoh.
Untuk perempuan yang datang terlambat atas janjinya sendiri inikah aku memuja? Entahlah... banyak yang telah terjadi tanpa bisa diterima logika. Juga sekarang ini. Sosok yang kini ada di depanku. Menemuinya di alam nyata adalah hal langka, selangka hasil yang dikirim TKI kepada keluarganya di desa. Maka pertemuan pun menjadi sangat berarti bagiku. Tapi dia? Apakah juga merasakan hal yang sama? Jika harus jujur, itu bukan pertanyaan yang sulit bagiku. Tapi entahlah, aku mencoba membuat suatu pengingkaran atas jawabanku sendiri.