Lihat ke Halaman Asli

Pagi di Tugu Pahlawan Surabaya

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum menuju bumi Majapahit, Mojokerto, pagi itu kuputuskan untuk mengeksplore kota pahlawan. Berbekal peta kota dari leaflet sebuah museum di Surabaya, ples print out jalur bis kota dan angkot di Surabaya hasil  bertanya pada Om google sehari sebelumnya, maka penjelajahan pun kumulai. Dengan naik bis kota Purabaya-Jembatan Merah via tol berongkos Rp 3500,- , maka kunjungan pun kumulai di Tugu Pahlawan. Semula kubayangkan tugu pahlawan ini seperti tugu pahlawan yang ada di Semarang, terletak di sebuah tanah lapang kosong. Namun ternyata tanah lapang itu telah tersulap menjadi sebuah taman cantik yang multifungsi: taman bermain, makam pahlawan, museum, tempat olahraga. Di dinding/pagar luar taman, terdapat relief yang menceritakan perjuangan rakyat Surabaya sebelum proklamasi dan sesudahnya. Kemudian di pintu depan terdapat sebuah patung Bung Karno dan Bung Hatta yang sedang membacakan naskah proklamasi. Di belakangnya, terdapat sempalan sebuah dinding gedung yang pada tiangnya tertuliskan slogan-slogan populer pada masa itu, seperti merdeka atau mati, rawe-rawe rantas malang-malang putung, dst.

Relief perjuangan di dinding taman. Foto dok.pribadi Dewi

Silhouete patung Dwi Tunggal di bagian depan taman. foto dok.pribadi Dewi

Tiang bergrafir slogan-slogan perjuangan kemerdekaan. Foto dok.pribadi Dewi

Saat kudatang, kebetulan ada apel polisi kota Surabaya dalam persiapan pengamanan pemilihan walikota. Namun demikian di sudut yang lain, tampak serombongan group senam sedang melakukan aerobik. Di pinggir-pinggir lapangan, anak-anak juga tampak asyik bermain badminton. Sedangkan yang remaja tampak asyik berpasang-pasangan.

Apel di Taman Pahlawan. Foto dok.pribadi Dewi

Karena tak bisa melintasi lapangnya langsung menuju ke tugu, aku pun memutar dan menyusuri pinggiran taman. Owh, ternyata, di pinggir-pinggir taman ini juga terpasang patung tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan saat itu. Total, ada 6 tokoh yang dipatungkan, antara lain Mayjend. Sungkono, R. Sudirman, R. Muhammad, Doel Arnowo, Bung Tomo, Gubernur Soerjo.  Mayjend Sungkono adalah komandan BKR kota Surabaya,  R. Sudirman adalah kepala karesidenan Surabaya yang ikut berunding dengan Jend.. Mallaby, R. Muhammad adalah mantan perwira PETA yang ikut berundingan dengan Jend Mallaby (Sekutu) di gedung Internatio, Bung Tomo adalah tokoh BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat  Indonesia) yang mendirikan radio pemberontakan di Jalan Mawar Surabaya, Doel Arnowo adalah ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Surabaya, sedangkan Soerjo adalah gubernur pertama Surabaya pada tahun 1945 yang menolak kedatangan Sekutu dan ultimatumnya, serta berpidato meminta kepada rakyat Surabaya untuk bertahan sampai titik darah penghabisan.

Patung Bung Tomo, tokoh perjuangan Surabaya yang baru diakui sebagai pahlawan nasional beberapa waktu lalu. Foto dok.pribadi Dewi

Selain itu, ada pula 4 senjata rampasan dari Sekutu yang menjadi saksi perlawanan rakyat Surabaya terhadap pendudukan Sekutu periode Oktober – November 1945, 1 panser, 1 meriam dan dua pelontar martir.

Panser buatan Inggris Brend carrier tipe MK 2 STD

Meriam PSU 40 mm buatan swedia tipe L60 Bofors

Mortir buatan Yugoslavia

Di tengah, tepat di belakang tugu, ada sebuah piramida yang terbangun sebagai tempat untuk pemakaman jenazah para pahlawan yang menjadi korban perang saat itu dan tidak dapat diketahui identitasnya. Untuk masuk ke kompleks pemakaman ini, kita harus masuk dulu ke museum yang ada di sebelah barat tugu. Sayang, aku datang saat museum ini sedang tutup libur nasional (hari raya waisak), jadi kesempatan mengeksplore piramida itu tak dapat kulakukan.

Makam buat mereka, pahlawan yang tak diketahui identitasnya

Di sebelah barat, di depan museum ada sebuah batu prasasti yang bertuliskan ” Padamu Generasi, tanpa pertempuran Surabaya, sejarah bangsa dan negara Indonesia akan menjadi lain”. Merinding membacanya. Melihat piramid yang di dalamnya berjajar mayat ratusan (mungkin ribuan) rakyat Surabaya, membayangkan darah rakyat Surabaya yang memerahkan sungai (sehingga memberi inspirasi lahirnnya nama  jembatan merah untuk sebuah jembatan yang melintasinya), sungguh aku yakin mengenai kata-kata itu, tanpa perjuangan mereka, mungkin nasib bangsa kita akan lain !

Prasasti yang mengingatkan apa yang terjadi di Surabaya setelah kemerdekaan (khususnya pada 9-10 November 1945)

Hmm, lapar.. maka langkahku pun kubawa keluar taman. Di sekeliling taman, banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangan. Menuju ke arah timur, ke depan kantor gubernur jawa Timur, yang semula kuduga adalah hotel Yamato, yang menjadi saksi penyobekan bendera Belanda merah, putih, biru, menjadi merah putih Indonesia. Terakhir, baru kuketahui, bahwa peristiwa itu terjadi di bukan di sana, namun di hotel Majapahit yang terletak di Jalan Tunjungan 65 yang baru kueksplore dua hari sesudahnya. Hehehe, sok tahu ya aku, habisnya bentuknya ga beda-beda jauh si..

;)

Kantor Gubernur Jatim, dok. pribadi Dewi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline