Lihat ke Halaman Asli

Menyimak Perjalanan Agustinus Wibowo dalam Menyingkap Selimut Debu Afganistan

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_85199" align="alignleft" width="143" caption="Foto copas dari http://avgustin.net/profile.php"][/caption]

Agustinus Wibowo, itulah nama pemuda yang lahir 25 tahun lalu. Lahir dan besar di Lumajang, kemudian kuliah di ITS dan kemudian melanjutkannya di China. Seorang kutu buku yang tertarik pada backpacking setelah berkenalan dengan backpacker cewek asal Jepang. Pada tahun 2001, dia pun memulai perjalanannya ke Mongolia. Kemudian melanjutkannya lagi pada tahun 2005, setelah lulus kuliah, dengan  melintasi Tibet, Nepal, lalu ke gurun pasir India, pegunungan di Pakistan Utara. Dia juga sempat bekerja sebagai sukarelawan gempa Kashmir, ke pedalaman Pakistan, berkeliling Afghanistan dengan hitchhiking, lalu ke Iran, Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan. Perjalanannya terus berlanjut hingga Mei 2009, ketika akhirnya dia harus pulang ke Lumajang karena Mamanya divonis kanker dan harus menjalani pengobatan. Kini, dia telah kembali ke Mongolia dan akan memulai lagi perjalanan berikutnya.

Aku mulai mengenalnya ketika catatan perjalanannya mulai dimunculkan kompas.com dalam rubriktravel. Sungguh tertarik pada kisahnya. Kisah pemuda Indonesia berkelana ke negara-negara asing yang jarang kudengar, kecuali dalam berita. Sungguh kutakjub dengan keteguhannya dan kegigihannya untuk melalui jalur-jalur yang justru dihindari oleh backpacker lain. Dia berani menyusuri wilayah yang sama sekali belum pernah dikunjungi orang asing atau bahkan oleh penduduk dari daerah lain. Sungguh kukagum pada ketabahannya saat menghadapi hal-hal tak diinginkan  dalam perjalanannya.

[caption id="attachment_85196" align="alignleft" width="202" caption="Cover buku copas dari http://avgustin.net/blog/media/users/gusweng/Publications/selimut_debu.jpg"][/caption]

Tadinya, selain membaca kisahnya di kompas.com aku juga rutin membuka situs pribadinya di www.avgustin.net. Kini, kisahnya di Afganistan pada perjalanan pertama di tahun 2001 dan perjalanan kedua di tahun 2006 dibukukan oleh kompas-gramedia dengan judul Selimut Debu. Promonya bisa anda lihat di kompas.com. Antusias, segera kucari buku itu di toko buku langgananku. Walaa.. tumben masih tersedia banyak..!

Segera kubaca, rutin setiap malam dan telah berakhir tadi malam. Benar-benar menghanyutkan ! Meskipun menceburkan dirinya dalam kehidupan orang lokal, ia tetap menjaga objektivitasnya sebagai orang luar, menganalisis persoalan sejarah, budaya, bahasa, sosial Afganistan dari kaca matanya sendiri. Tak lupa pula menampilkan subjektivitas orang lokal dalam memandang diri dan kehidupan mereka.

Dari kisahnya, aku melihat Afganistan pun kadang sama dengan Indonesia. Multietnis dan menghadapi masalah keberagaman, namun pada tingkat yang lebih ekstrim. Stereotipe salah satu suku terhadap suku lain membuat mereka mendapat perlakuan yang beda. Hiks.. Kehancuran Afganistan akibat perang memaksa warganya membanjiri Iran dan Pakistan yang dianggap lebih makmur. Namun di sana mereka dianggap warga kelas dua. Dominan di sektor informal, kuli bangunan dan buruh. Tak jarang mendapat perlakuan diskriminan hanya karena mengaku dirinya adalah seorang Afgan. Membaca kisah ini, mengingatkanku pada nasib jutaan TKI di Malaysia.

Terlepas dari keheroikannya menjelajah remote area, dalam kisahnya di buku ini, dia menampilkan dirinya apa adanya. Seorang petualang dari jenis manusia biasa. Dia adalah manusia biasa yang kadang cengeng, emosional, suka berprasangka buruk, penakut dan panikan. Just like us.. Dia pun merengek dan memelas agar mendapat harga yang lebih murah saat berkendara. Dia pun panik minta ampun ketika hardisk yang berisi foto-foto perjalanannya menghilang. Dia pun terkesan polos, berkali-kali tertipu oleh budaya basa-basi lokal meskipun telah mengenal budaya itu. Dia juga geram dan marah ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh polisi lokal. Dia juga kesal ketika harus menjelaskan berkali-kali di mana itu Indonesia pada seorang kakek tua yang terus bertanya, “Indonesha tu bagian mananya Afganistan..?”. Dia juga naïf, mengingatkan berhati-hatilah kalian laki-laki yang bertampang manis, mulus tak berbulu seperti layaknya orang Afganistan yang umumnya berbulu, berjenggot dan bercambang. Bersiaplah kalianlah menjadi objek sodomi. Terkesan pede mengucapkannya. Dia lupa bahwa fisiknya juga seperti yang dicirikannya itu. Dia baru menyadarinya ketika suatu malam dia akan dijadikan objek sodomi oleh tuan rumah. Dia pun lari ketakutan karenanya.

Menurutku, sisi manusiawi dari sosoknya yang diungkapkan dalam setiap kisahnya ini bukanlah kelemahan, justru kekuatan. Sepertinya dengan cara inilah Agustinus Wibowo mengingatkan pada kita bahwa siapa pun sebenarnya bisa melakukan perjalanan sepertinya. Itu bukan suatu kemustahilan!! Membaca buku ini benar-benar mencerahkan, menyadarkan banyak hal, terutama tentang kata syukur!! AW begitu apiknya menyajikan bahwa apa yang Afganistan hadapi mungkin ada persamaan dengan yang kita hadapi, bahkan lebih buruk !! Namun mereka tetap bisa menikmatinya, kadang juga dalam tawa. Dan mereka tak berhenti untuk bertahan dan berjuang !! Seburuk-buruknya kondisi Afganistan yang selalu diselimuti khaak, debu, Afganistan tetaplah khaak, watan, tanah air mereka. (dewi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline