Lihat ke Halaman Asli

Presidential Threshold dan Nasib Demokrasi Kita

Diperbarui: 1 Agustus 2017   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sosial isu dan dialektika mengenai penerapan presidential threshold bergerak cepat dan dalam berbagai kesempatan merenggut pemikiran kita tentang bagaimana struktur politik demokratis harus diarahkan dalam kesadaran-kesadaran kehendak di satu sisi atau kemana arah struktur tersebut akan bergerak dalam batasan-batasan deterministik dinamika sosial-politik di sisi lain.

Dan dari semua keriuhan dan kegembiraan di jalanan kebebasan atau kemerdekaan  yang kita nikmati selama belasan tahun setelah tumbangnya patung besar dan kokoh totalitarianisme dan bayangan-bayangan yang membayangai ke-aku-an kita, ada momen-momen  keterhenyakan dalam kecepatan pergerakan yang menciptakan ruang-ruang untuk kembali memikirkan dan mendefinisikan kebebasan seperti apa  yang kita inginkan.

Mengingatkan tentang pasukan yang berada di belakang dewi kemerdekaan dalam lukisan Eugene Delacroix, Liberty Leading the People.Bukan tentang perjuangan merobohkan tirani, bukan tentang teriakan semangat perjuangan yang pernah menggema di jelan-jalan kota besar atau bahkan bukan impian-impian romantis yang mencuat dengan berani diantara keringat (bahkan darah) dan langit biru kemenangan kebebasan yang terbentang luas.

Tetapi tentang realita setelah kemenangan itu kita peroleh, selama kita bisa menyebutnya kemenangan dan selama kita merasa bahagia dengan kebebasan yang kita peroleh. Bukan hanya tentang tuntutan untuk memperoleh kesempatan yang menawarkan kebebasan (opportunity concept), tetapi juga tanggungjawab untuk menggunakan kebebasan tersebut dengan pematangan diri untuk menjadi individu yang lebih efektif untuk menjaga semangat demokrasi, dari rakyat untuk rakyat (exercise concept).

Jika kemudian dalam terminologi demokrasi sebagai wujud berpolitik terkait presidential threshold, muncul kembali istilah "kekuasaan absolut" ada dua kemungkinan yang muncul. Kemungkinan pertama, jika istilah tersebut diartikan kekuasaan selain kekuasaan dari rakyat, maka pernyataan itu paradoksial karena ada upaya menggeser atribut utama. Hal kebalikan dari realita adalah ketidakmasukakalan kecuali ada proses politik untuk mengganti sistem politik bercirikan pemisahan kekuasaan dengan sifat-sifat  representatifnya menjadi kekuasaan tunggal yang absolut. Adakah?

Kemungkinan yang lain, istilah tersebut bisa dimaknai sebagai tuntutan untuk tidak meninggalkan atau mengabaikan prinsip memberikan kesempatan kebebasan yang lebih besar (opportunity concept). Demokrasi memang harus menawarkan kesempatan untuk bebas dan merdeka. Tetapi kita akan tiba pada posisi keraguan yang akan mepertanyakan keefektifannya. Bukankah kesempatan yang terlalu besar justru tidak  efektif?

Terlepas dari persoalan keefektifannya, hanya dalam kemungkinan kedua ini lah, persoalan presidential threshold bisa dibawa ke ruang publik. Sedangkan yang pertama adalah klaim yang kehilangan kelogisannya karena bertentangan dengan atribut-atribut utama dari demokrasi liberal. Bagaimana mungkin kekuasaan bisa absolut, jika demokrasi dijalankan dengan prinsip-prinsip kebebasan individualistik (pemilihan umum, sistem representatif dalam struktur pemisahan kekuasaan, atau jaminan konstitusional mengenai kebebasan yang salah satu wujudnya berupa kemunculan kelompok-kelompok kepentingan kritis).  

Dan hanya dalam batasan wilayah kedua inilah, problematika kekuasaan mayoritas bisa dibahas. Mayoritas memang bisa "mengendalikan" melalui piranti-piranti representatifnya. Serta di sisi lain yang mungkin disayangkan oleh kaum liberal,  bagaimana keputusan mayoritas ini berhubungan secara inheren dengan kesempatan yang penawarannya seharusnya diberikan lebih besar dari batasan.

Jika demokrasi representatif selalu menjadi demokrasi liberal karena dalam dirinya terdapat atribut-atribut kebebasan individu seperti kebebasan individu dari tekanan dan kekangan untuk menentukan pilihan politik, maka liberal yang menginginkan atau menuntut pemaksimalan kesempatan harus dibedakan dengan liberal yang menekankan pragmatisme untuk mencapai kepentingan publik kebanyakan. Meskipun keduanya adalah demokrat.  

Kita kembali bertemu dengan persoalan bahasa untuk membedakan keduanya. Bukan persoalan keidealan, satu lebih baik daripada lainnya dalam pandangan yang universal yang mencakup semua upaya untuk mewujudkan demokrasi liberal karena hal tersebut tidaklah mungkin karena yang bisa dibahas adalah demokrasi dalam wujudnya yang memberikan kebaikan untuk bangsa ini, bukan penerapan di tempat lain.

Dan sejarah tidak bisa disalahkan jika pada saat ini presidential thresholdsebesar 20 persen suara parlemen digunakan untuk memenuhi konsep penggunaan demokrasi (exercise concept) atau dengan kata lain untuk mempermudah proses demokrasi. Atau lebih sederhanannya, struktur seperti ini lah yang lebih baik kita pilih untuk menjaga dan merawat demokrasi yang sesuai dengan ikatan-ikatan dan definisi-definisi saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline