Sebuah film pendek berdurasi sekitar 7 menit-an menuai polemik karena dianggap menyudutkan agama tertentu terutama terkait adegan pelarangan untuk menggunakan akses jalan yang sedang ditutup untuk kegiatan agama tersebut terhadap ambulan yang membawa pasien yang ditampilkan memiliki agama yang berbeda. Pada akhirnya ambulan tersebut mendapatkan akses setelah terjadi dialektika internal antara pihak-pihak yang ditampilkan memiliki agama yang sama dengan pengikut agama yang sedang melakukan kegiatan keagamaan tersebut.
Film ini sebenarnya memiliki pesan yang bagus dan sesuai dengan kondisi terkini. Pesan yang ingin dibangun oleh film pendek ini kurang lebih adalah hubungan antara agama (keimanan transenden) dengan kemanusiaan (praktek imanen) atau beragama harus menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebenarnya sangat disayangkan jika ada ide untuk menyampaikan pesan tersebut yang berarti secara tidak langsung ada realita dalam bentuk pandangan pihak luar yang memandang kelompok tertentu menempatkan agama berseberangan dengan kemanusiaan.
Di sinilah awal mula kritik ini beranjak dengan bekal dua kata kunci tersebut, agama dan kemanusiaan. Agama disini tentu saja adalah entitas yang berada di wilayah perseptual untuk menghindari diri dari kebutuhan akan struktur epistemologi analitik untuk menjelaskan noumena dan kemanusiaan di sini tentu saja kemanusiaan sebagai wujudnya, bukan ide universal yang tidak memiliki legitimasi untuk dibahas karena ketidakadaan wujud. Dan yang terakhir, legitimasi polemik adalah sejauh mana polemik sosial bisa memperoleh legitimasi kewajarannya untuk perkembangan struktur sosial.
Untuk menghindari kekompleksitasan pembahasan, aspek-aspek teologi yang bisa ditemukan di balik "Aku Adalah Kau Yang Lain" sengaja tidak dibahas karena hal tersebut adalah "kebaikan". Sama seperti pilihan untuk tidak menyebut nama agama secara langsung untuk menjaga keobyektifitasan. Sebagai pedoman kemudahan, ada dua aspek yang akan dibahas untuk melegitimasi polemik ini.
Ada kisah memang ketika simbol-simbol agama digunakan untuk melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Dan tidak disangsikan lagi bahwa deskripsi historis menunjukkan gambaran-gambaran bahwa persepsi tentang agama bukan membawa kesejahteraan, tetapi justru kehancuran dalam bentuk konflik sosial yang tidak jarang berujung pada konflik militer dengan kuantitas keterlibatan dan korban yang mencengangkan. Bahkan apa yang terjadi saat ini pun tidak bisa dipahami lepas dari apa yang sudah terjadi. Aspek-aspek kekinian (sinkronik) harus dipahami dengan aspek-aspek warisan yang sudah terjadi (diakronik).
Tapi untungnya bangsa ini tidak pernah mengalami konflik kemanusian berskala besar yang berkelanjutan yang dipicu oleh persepsi keagamaan yang melahirkan radikalisme. Bahwa konflik itu ada, memang benar. Bahwa ada ketegangan sosial dalam memaknai perbedaan keimanan memang tidak bisa dipungkiri. Tetapi menempatkan ketegangan tersebut dalam skala intesitas yang sama dengan apa yang terjadi di wilayah timur Suriah dan utara Irak, tentunya berlebihan. Bahwa potensi itu ada memang benar karena fakta menunjukkan bahwa ada beberapa individu yang ikut serta dalam gerakan pendirian negara agama berbasis trans-nasional.
Persoalannya justru terletak pada upaya untuk menggambarkan potensi itu dalam wujud kemanusiaan yang berbeda, bukan wujud kemanusiaan yang ada dan berkembang di bangsa ini dan pilihan seperti itu lebih bersifat ketidakpantasan, bukanlah kekeliruan. Adegan pelarangan ambulan melintasi wilayah kegiatan agama karena mengganggu kegiatan tersebut ditambah dengan ilustrasi bahwa pasien yang di dalamnya beragama lain menjadi kehilangan legitimasi "being there"nya, sedikit meminjam Heidegger, terkait hubungan antara ide yang disampaikan dalam adegan film dengan realita kultur sebagai wujud kemanusiaan yang tidak boleh ditinggalkan sebagai acuannya.
Pandangan seperti ini bisa saja memunculkan wilayah pemaknaan bahwa ada ketakutan dengan alasan yang tidak cukup kuat. Bukan tidak ada alasannya karena jika meniadakan alasan maka berarti meniadakan potensi, sedangkan fakta menunjukkan potensi itu ada dalam bentuk serangan fisik terhadap properti negara, tempat ibadah agama dan individu-individu tertentu . Penggambarannya saja yang tidak pas atau terlalu berlebihan hanya jika ada kesengajaan untuk menampilkan karakter yang mewakili komunitas agama tertentu yang katakanlah non-moderat dengan komunitas agama lainnya yang moderat, yang menjadi dasar terjadinya dialektika internal.
Selain itu pemisahan non-moderat dan moderat, jika itu yang sengaja ditampilkan, akan menimbulkan tindakan penyederhanaan (reduksionistik) yang tidak pada tempatnya karena reduksionisme sebaiknya digunakan untuk menampilkan aspek-aspek utama yang sama atau berbeda untuk mempermudah memahami subyek, bukan melekatkan atribut pada subyek yang justru membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Tampaknya pembuat film kurang mempertimbangkan hal tersebut sehingga adegan ambulan itu justru seakan-akan menampilkan kemanusiaan yang tidak "being there", selain juga muncul kritik yang tidak disadari pada kondisi layanan kesehatan nasional (apakah memang di rumah sakit kita ada antrian sepanjang itu untuk keadaan darurat?). Semoga saja asumsi ini keliru karena sikap seperti itu adalah bentuk kecerobohan.
Berikutnya, bagaimana jika karakter yang dipersepsikan memiliki persoalan ketidakharmonisan antara keimanan dengan kemanusiaan adalah "oknum"? Sebagai akibatnya individu yang lain bisa dipersepsikan sebagai "oknum" juga sehingga film ini akan berdialektika di wilayah individu dan pesan yang muncul adalah pesan-pesan beragama dalam keindividuan seperti yang disampaikan Soren Kierkegaard. Dan dialektika antara agama dan kemanusiaan harus ditempatkan di wilayah ini sebagai bentuk yang paling ideal.