Kontroversi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kedatangan Zakir Naik (ZN) di Indonesia. Tokoh yang disebut-sebut pandai berdebat ini seakan-akan memberikan rasa tersendiri yang langsung dicerna dalam dialektika di ruang publik. Proses pencernaan yang tidak lah lancar karena ada elemen-elemen bangsa ini yang menolak arah pemikirannya karena dianggap bisa mengganggu organ-organ vital, terutama persatuan dalam kebhinekaan. Dari dialektika itu menyeruak beberapa paradoks yang muncul karena ketidaksesuaian antara fenomena ZN dengan harapan sosial dari hidup beragama dan bangunan sosial untuk bangsa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini.
Jika ZN disebut ulama, maka paradoks pertama akan muncul. Kehadiran ulama atau seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas tentu saja akan menghadirkan kedamaian dan kesejukan selama agama diartikan sebagai aspek keimanan yang diharapkan memberikan konstribusi positif untuk kemajuan kemanusiaan dan peradaban. Apakah ada rumah kemanusiaan yang dibangun dengan pilar ketegangan dan perselisihan sosial yang jauh dari sifat dialektik?
Jika ZN disebut teolog, tidak usah menunggu lama untuk kedatangan paradoks kedua. Teolog adalah seseorang yang mendalami teologi. Teologi adalah pandangan kritis (yang kemudian bisa saja disebut akademis) untuk wilayah keagamaan atau keyakinan transendental. Kekritisan adalah tuntutan pertama yang harus dipenuhi oleh seorang teolog. Selanjutnya tuntutan ini akan membawa seorang teolog ke wilayah penjelasan deksriptif yang akan memunculkan tuntutan-tuntutan keilmuan selanjutnya seperti keilmuan sejarah, sosiologi, filsafat, hukum, dan keilmuan lainnya. Singkat katanya seorang teolog harus kritis pada subyek yang dia pelajari. Seorang teolog juga harus melihat agamanya sendiri dari sudut pandang kritis dan elaboratif. Seseorang yang mengkritik struktur teologi agama lain tetapi tidak untuk agamanya sendiri bukanlah seorang teolog, tetapi kritikus satu arah. Tidak lebih dari sekedar pembawa pesan sektarian.
Jika ZN disebut ahli debat agama, bersiaplah bertemu dengan paradoks ketiga. Mulai kapan agama bisa diperdebatkan? Jika tidak bisa dikatakan semua, sebagian besar agama berada di wilayah keimanan. Ketika subyek pembahasannya adalah entitas-entitas transenden maka tidak ada kata yang lebih tepat untuk mewakilinya selain keimanan. Keimanan bukanlah pengetahuan positifistik yang harus memenuhi kriteria positivismenya Auguste Comte. Sehingga keimanan tidak bisa sejajar dengan pengetahuan empiris dan keimanan dengan sendirinya memang memiliki sifat seperti itu. Kita tidak akan membutuhkan keimanan untuk menjelaskan struktur kimia logam atau bagaimana konstruksi jembatan bisa menampung beban tertentu. Tetapi kita membutuhkan keimanan ketika kita merenungkan hubungan Tuhan dengan makhluk ciptaannya. Creatio ex nihilo, creatio ex materia atau creatio ex deo? Atau pun ketika kita merenungkan kelogisan konsep neoplatonik dengan struktur emanasinya. Monisme berjenjang dengan kausalitas sekundernya atau monisme deterministik yang menentang kausalitas sekunder? Keimanan membutuhkan perenungan, bukan perdebatan!
Jika ZN disebut sang pemenang, paradoks keempat siap menerkam. Bukankah agama seharusnya mengajarkan keharmonisan sosial karena hanya dalam keharmonisan itu rumah kemanusiaan bisa dibangun dengan pondasi struktur sosial yang mencerminkan kolektifisme horizontal. Atau bahasa sederhanannya kebersamaan yang lahir dengan sendirinya dari kesadaran individu. Struktur sosial seperti itu tidak bisa dibangun dari pemujaan yang terlalu berlebihan pada apa yang Nietschze sebut dengan Master Morality. Yang kuatlah yang seharusnya menentukan norma. Sang juara lah yang seharusnya menentukan mana yang benar dan salah. Apakah ada kata lain selain ironi ketika orang beragama melupakan tugas mereka untuk melaksanakan kewajiban sosial, merangkul dan memberikan rasa aman bagi yang lemah. Apakah pragmatisme dalam dunia modern ini memang berhasil mengalahkan orang beragama dan menyandarkan segala sesuatunya pada menang-kalah. Apakah modernisme melanda dan mensapuratakan semua orang seperti tsunami sehingga norma-norma kolektif dalam semangat beragama digantikan dengan teriakan Spartan. Teriakan yang setia mengawal jagoan mereka supaya berjalan dengan tegap ke tengah arena untuk berduel dengan jagoan lain. Teriakan yang haus akan kemenangan di arena yang panas terbakar terik matahari ego yang hanya memuaskan id, tetapi lupa akan teduhnya keheningan dalam wujud superego yang sudah susah payah dibangun oleh leluhur kita di nusantara ini.
….tetapi paradoks itu nyata dan kita lah paradoks itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H