Lihat ke Halaman Asli

Teologi dalam Persimpangan Pragmatisme

Diperbarui: 11 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara teologi tentu akan membawa pembahasannya ke wilayah agama. Tetapi apakah teologi itu sama dengan agama? Apakah seorang teolog dengan sendirinya agamawan? Tulisan ringkas ini akan mencoba menjawab pertanyaan sederhana tersebut dalam sebuah struktur yang tetap meninggalkan jejak dialektik sebagai upaya untuk menjaga semangat penelusuran induktif.

Teologi berasal dari bahasa Yunani, theologia yang terdiri dari kata theos (Tuhan) dan logia (pernyataan atau diskursus). Teologi pada umumnya diartikan sebagai telaah kritis tentang karakteristik Ilahi. Teologi dipelajari dan diajarkan dalam wilayah akademis di tempat-tempat dimana pendidikan akademis diberikan.

Jika ada pemikiran bahwa pertanyaan di atas bisa dijawab dari sudut pandang ini, bisa disimpulkan sementara bahwa pemikiran tersebut berasal dari perbedaan antara sifat teologi yang berkutat di wilayah keilmuan dan agama yang berada di wilayah keimanan. Tetapi ada juga pemikiran sebaliknya.

Sebuah kata bukanlah  sebuah pemaknaan statis yang tidak berkembang sesuai dengan tuntutan jaman sehingga kemudian dikenal istilah etimologi. Dalam sebuah struktur sosial yang menempatkan pembuktian logis berbeda dengan keimanan, teologi akan dipandang berbeda dengan agama. Perbincangan teologi bisa dibawa ke ruang publik tanpa menggelisahkan kemapanan doktrin agama karena sebagai pengetahuan, teologi akan selalu ditemani dengan diskursus dialektik dan agama akan tetap merasa aman dalam kubah perlindungan magis keimanan.

Tetapi bagaimana dengan struktur sosial dimana ada upaya untuk mengubah keimanan menjadi  pembuktian atau dimana doktrin agama mendapatkan sokongan yang kuat dari  agen-agen sosial yang mengkampanyekan persepsi kelogisan bukan melalui telaah kritis? Perbedaan antara teolog dan agamawan menjadi kabur. Teolog yang dihasilkan dari struktur sosial seperti ini tidak akan suka membicarakan struktur pembuktian tetapi hanya cenderung menjadi penjaga utama doktrin yang ditempatkan di lini pertahanan terdepan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol kelogisan yang seringkali tidak ada hubungannya dengan keilmuan dan diskursus tentang wilayah transenden.

Di sinilah etimologi menjadi sebuah tuntutan untuk menemukan kosa kata baru. Di sinilah letak ketidakakuratan dari kata dan penyematannya pada individu-individu karena pada masing-masing struktur sosial terdapat perbedaan tuntutan pemenuhan atribut. Dan kadang atau pada banyak kasus, tuntutan dari sisi etimologi ini tidak dipandang penting karena nilai pentingnya justru terletak pada wilayah akademis, bukan pragmatis. Dari dulu teman saya sering menyebut semua kendaraan lapis baja itu adalah tank. Dan saya tidak pernah merasa perlu untuk menyebut nama lain yang lebih akurat seperti APC atau IFV. Dalam wilayah pragmatis,  hal itu tidak perlu atau terlalu berlebihan.

Yang berarti  sebutan teologi atau penyematan kata teolog pada individu yang dianggap menguasai ilmu teologi itu oleh struktur sosial tertentu sudah benar dan tidak perlu dipersoalkan?

Di sinilah letak permasalahan dilematisnya. Dalam atmosfer pragmatisme, pernyataan tentang entitas transenden dan karakteristiknya memang tidak begitu membutuhkan pembuktian teoritis. Dalam struktur sosial yang berulangkali menyebut nafsu itu musuh dari ketaatan kepada jalan Ilahi, tidak diperlukan pembuktian teoritis bahwa  klaim tersebut adalah bentuk reduksionisme dari makna nafsu sendiri atau lebih tepatnya hawa nafsu. Bagaimana sebuah pernikahan yang pembentukan strukturnya membutuhkan elemen pemenuhan hawa nafsu biologis, bisa dikatakan berseberangan dari upaya-upaya untuk menjaga ketaatan pada Ilahi?

Dan akhirnya kita yang menyukai wilayah pembuktian teoritis akan sampai pada poin dimana sebagian dari kita  mungkin akan kecewa akan kemenangan pragmatisme dan reduksionisme yang selalu melekat padanya. Tetapi bukankah yang penting  dari kendaraan lapis baja tersebut bukanlah struktur spesifikasi teoritisnya, bukanlah yang penting mereka bisa menghadirkan rasa aman pada warga negara yang sebagai pembayar pajak?

Sebagian besar dari  pemerhati  teori transenden mungkin akan berhenti menjadi talkativedan masuk dalam wilayah keheningan kembali dan membiarkan perbincangan dan keramaian di ruang publik menyebut individu tersebut teolog dan menyematkan pada individu tersebut atribut-atribut yang pantas  untuk dia.

Mengapa harus ikut dalam keramaian ruang publik yang atribut-atribut perbicangannya harus dimaknai sesuai dengan tuntutan struktur sosialnya? Mengapa harus bersusah payah membuktikan ketidaktepatan atribut tersebut dan dengan usaha keras berusaha untuk menawarkan pemaknaan yang tidak sesuai dengan struktur sosial? Mengapa tidak menerima saja being in the world­-nya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline