Lihat ke Halaman Asli

Eksepsi Ahok Sebuah Kewajaran, Bukan Kebohongan

Diperbarui: 17 Desember 2016   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti tercantum dalam pemaknaan inherennya, dalam eksepsi atau nota keberatannya Ahok menyampaikan keberatannya terhadap tuduhan bahwa dia telah menista agama Islam. Apakah penyampaian keberatan ini berarti Ahok telah menyampaikan kebohongan dalam permintaan maafnya yang disampaikan beberapa kali sebelumnya atau apakah pernyataan keberatan ini adalah sesuatu yang wajar dan memiliki validasi kebenarannya adalah persoalan yang akan dibahas dalam artikel ini.

Secara sederhana dengan mengambil resiko jalan berpikir reduksionis, Ahok bisa dianggap berbohong karena menyampaikan pernyataan keberatan terhadap tuduhan dengan pertimbangan bahwa dia telah meminta maaf sebelumnya. Pernyataan keberatan di sini adalah kebohongan karena  bertentangan dengan permintaan maaf yang diartikan secara sederhana bahwa dia telah mengakui kesalahannya dan orang yang mengakui kesalahan tidak seharusnya menyampaikan keberatan terhadap tuduhan. Sehingga kemudian sebagai konsekuensinya  pernyataan keberatan tersebut adalah kebohongan.

Dalil di atas begitu sederhana dan menggunakan prinsip reduksionisme dimana reduksionisme gagal digunakan untuk menyampaikan gambaran awal sebagai landasan deduktif argumentasi selanjutnya dan sayangnya justru menampilkan ketidakcermatan dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip moral.

Sebelum melangkah jauh, perhatika analogi sederhana ini. Suatu saat Anda terlibat dalam dialektika yang “hangat” dengan beberapa teman Anda. Dialektika ini menyangkut persepsi tentang ketuhanan . Dan pada suatu titik, Anda menyampaikan dalil konsep ketuhanan bisa berbeda-beda tergantung pada pengalaman subyektif. Teman-teman Anda merasa tersinggung dengan pernyataan Anda dan menganggap Anda menghina agama mereka (padahal Anda sama sekali tidak menyinggung  agama mereka!).

Sebagai seorang yang beradab dengan beretika Anda akan meminta maaf. Tetapi permintaan maaf Anda tentu saja bukan tentang substansi dari pernyataan Anda yang dari sudut pandang idealisme immaterial memiliki landasan kebenaran yang kuat. Permintaan maaf Anda tentu saja dimaksudkan bahwa memang benar pada kenyataannya, pernyataan Anda menciptakan ketidaknyamanan dalam diri teman-teman Anda.

Tetapi seorang reduksionis yang gegabah dan tidak cermat  gagal memahami struktur seperti ini.

Kasus penistaan agama oleh Ahok sejak awal dengan sendirinya sudah memposisikan dirinya pada kontroversi untuk menentukan keobyektifitasannya mengingat memang benar terdapat perbedaan tafsir dari sudut pandang exegesis yang berbeda-beda dari ayat yang dikutip oleh Ahok.

Serangkaian gerakan masa yang terjadi selanjutnya membawa kasus ini ke dalam wilayah utilitarianisme dimana tindakan Ahok kemudian bisa dipersepsikan bertentangan dengan utilitas publik atau sederhananya tindakan Ahok tidak bermanfaat atau merugikan mayoritas publik. Mengingat perselisihan yang terjadi selama proses penetapan tersangka Ahok, maka jelas bahwa kasus Ahok ini benar-benar masuk ke wilayah utilitarianisme.

Jika dari 10 orang, 7 orang mengatakan itu salah dan 3 orang mengatakan tidak berarti tindakan itu bersalah. Itu lah prinsip utilitarianisme dalam bahasa sederhana.  Legitimasi prinsip utilitarianisme akan terbantahkan atau ternegasikan dengan fakta-fakta konsekuensial dari sebuah tindakan yang bersifat dinamis seiring dengan perkembangan sosial dan kemampuan berpikir dan berdialektika individu. Contohnya, jika pada pemilihan gubernur kemudian Ahok menang, berarti prinsip utilitarianisme yang digunakan untuk menjerat Ahok dengan sendirinya akan terbantahkan.

Dalam persidangan, tentu saja Ahok tidak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah dengan menggunakan prinsip-prinsip utilitarianisme karena prinsip ini bersandar seluruhnya pada aspek-aspek sosiologi yang berarti secara langsung berada di luar kekuasaan Ahok. Sehingga bisa dipahami dan dimengerti jika Ahok lebih menekankan eksepsinya pada aspek-aspek deontologi yaitu tidak ada niat jahat dalam tindakannya.

Deontologi yang tidak menekankan pada konsekuensi tindakan dan lebih menekankan pada niat sebagai manifestasi dari kewajiban  dan tanggungjawab adalah aspek yang tepat untuk disampaikan oleh Ahok. Dalam eksepsinya Ahok menyampaikan bahwa niatnya adalah sebuah kebaikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline