Lihat ke Halaman Asli

Mengoreksi Kekeliruan dalam Intisari Sidang Jessica

Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdakwa Jessica Kumala Wongso hendak menjalani sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016). Ketiga saksi ahli yakni dokter forensik RSCM Budi Sampurna, Kriminolog UI Ronny Nitibaskara, dan Guru Besar Psikologi UI, Sarlito Wirawan. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Persidangan kasus Jessica yang berlarut-larut tentu akan menimbulkan pertanyaan “apakah yang berbeda dari kasus ini?” sehingga kemudian hal positif yang bisa kita peroleh adalah sebuah kasus tidak bisa dengan mudah disamakan dengan kasus lainnya atau dalam bahasa filsafatnya sebuah wujud akan selalu terikat pada kondisinya dan, jika diteruskan, sebuah wujud sudah seharusnya diperlakukan sebagai wujudnya. Tetapi bukan berarti dari sebuah wujud tidak ada yang bersifat universal sebagai substansinya karena jika yang demikian keliru maka sebuah wujud tidak bisa menjadi bagian dari sebuah spesies (manusia dan kemanusiaannya).

Apakah dari puluhan persidangan yang sudah dijalani kita bisa mencari klaim lain melalui pendekatan filsafat spekulatif untuk mengubah makna dari begitu banyaknya jumlah persidangan, yaitu kesulitan dan kerumitan, menjadi bermakna lain, mudah dan sederhana?

Sebagian dari kita yang mungkin sudah jenuh dengan pembuktian empiris materiil (bisa ditambahkan lagi, ilmiah) akan mencari alternatif lainnya untuk membuatnya menjadi mudah dan sederhana. Ya benar, ada senjata ampuh untuk membuat hal yang rumit menjadi sederhana. Intuisi.

Menyebut intuisi akan langsung terbersit paham filsafat rasionalisme. Menurut paham ini, pikiran atau penalaran kita bisa berasal dari intuisi dan pikiran selanjutnya akan berdasarkan atau sebagai kelanjutan dari intuisi ini (deduktif). Intuisi kita akan mengatakan bahwa 2 + 2 adalah 4 dan tindakan selanjutnya dalam bentuk proses matematika yang lebih rumit akan berdasarkan mekanisme intuitif ini.

Tetapi mendefinisikan intuisi sebagai sesuatu yang sederhana dan akurat dengan sendirinya (apriori) dan bisa diterapkan pada semua hal adalah sebuah kekeliruan karena pengabaian proses empiris materiil yang ironisnya menjadi sandaran tata cara bagaimana hukum harus dijalankan jelas tidak bisa dibenarkan dalam praktek hukum positif kita, kecuali mekanismenya diubah menjadi hukum mistis, bukan positif.

Bagaimana intuisi Anda akan membenarkan bahwa kasus Jessica yang berlangsung selama 5 bulan melalui rangkaian puluhan persidangan dan puluhan saksi yang dihadirkan baik dari pihak JPU dan Pengacara menjadi sebuah kasus yang mudah dan sederhana? Jika memang begitu yang Anda simpulkan, bukankah intuisi Anda bertentangan dengan bukti empiris dari apa yang bisa dimaknai dari puluhan sidang tersebut? Apakah Anda akan berani mengatakan bahwa intuisi Anda kebenarannya berada di atas kebenaran empiris?

Di sinilah letak problematika klaim intuisi yang metafisik yang tidak akan menjadi persoalan epistemologi jika hanya diletakkan pada hal-hal yang mendasar seperti hubungan sebab akibat dan landasan moral seperti terdapat dalam kategori imperatifnya Imannuel Kant.

Tetapi jika semua persoalan bisa diselesaikan dengan intuisi dan mengabaikan pengalaman empiris, tentu saja hal aneh ketika Presiden berpidato bahwa kebijakan ekonominya dilakukan karena muncul intuisi dari hati nuraninya yang terpisah dari pengalaman empiris bisa berubah menjadi kewajaran. Dan tentu saja akan menjadi kewajaran jika semua fakultas ekonomi ditutup karena legitimasi kebenarannya berada di bawah intuisi yang apriori.

Sehingga memahami rasionalisme memang tidak semudah itu. Kecuali jika dilihat dari pemahaman para reduksionis yang tidak bisa disebut sebagai rasionalis tetapi mungkin lebih tepatnya disebut sebagai mistikus. Semuanya bisa diselesaikan dengan sudut pandang intuitif.

Jadi persoalan kasus Jessica bukan terletak pada apakah pendekatannya adalah empirisme atau rasionalisme dan membawa persoalan ini dalam perdebatan filosofis seperti ini adalah wujud penerapan dualisme reduktif (yang disederhanakan dan diterapkan pada semua wilayah), bahwa selalu ada yang berada di bawah (empirisme) dan di atas (rasionalisme). Jika ditarik asal-usul pemikiran seperti ini pasti mengingatkan kita pada pembahasan gnostisisme yaitu perbedaan antara demiurge dengan Tuhan asli.

Intisari persoalan kasus Jessica sebenarnya bukan pada perdebatan empirisme-rasionalisme, tetapi berada pada bagaimana kita memahami kebenaran, apakah secara korespondensif atau koheren. Teori kebenaran korespondensif menyebutkan bahwa kebenaran harus sesuai dengan faktanya sedangkan teori kebenaran koheren menekankan bahwa kebenaran bisa dicapai dari perangkaian kesesuaian yang menciptakan keseluruhan. Pada dasarnya kedua konsep ini berbicara tentang fakta yang menjelaskan kebenaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline