Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Kewajaran Pengakuan Mantan Teman Ahok

Diperbarui: 23 Juni 2016   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KeberhasilanTeman Ahok mengumpulkan satu juta KTP ternyata diikuti oleh fenomena yang menarik, yaitu pengakuan sejumlah mantan Teman Ahok yang mengungkap beberapa realita di balik pengumpulan satu juta KTP tersebut.

Seperti sudah diketahui luas, pengakuan tersebut mengungkap bahwa terdapat pembayaran (sekitar 2,5 juta setiap bulan) yang diberikan kepada anggota Teman Ahok, bahwa terdapat target jumlah KTP yang harus dikumpulkan, bahwa terdapat kecurangan dalam bentuk penggunaan KTP yang sama untuk beberapa kali dan kerjasama dengan oknum pemerintah.

Tulisan ini akan menimbang validitas persepsi kewajaran yang muncul setelah mendengar pengakuan ini sebagai fenomena sosial politik. Untuk menghindari persoalan terkait politik praktis, tulisan ini akan menggunakan pendekatan fenomenologi yang lebih detail bisa didefinisikan sebagai bagaimana individu menangkap fenomena tersebut terkait tingkat kewajarannya dan sejauh mana persepsi kewajaran yang terbentuk setelah proses kognitif bisa divalidasikan. Selanjutnya tulisan ini akan bergerak ke wilayah filsafat, terutama wilayah yang bisa menjelaskan mengapa fenomena ini bisa terjadi.

Yang pertama, persepsi kewajaran untuk pembayaran mendapatkan penopangnya dari persepsi atribut aksiden masyarakat modern yang tidak bisa melepaskan dirinya dari konsep transaksional antara pemenuhan kepentingan bersama dengan pemenuhan kepentingan individu.

Yang kedua, persepsi kewajaran untuk pemenuhan target pengumpulan KTP dipicu dan dipacu oleh persepsi praktek organisasional masyarakat modern yang memberikan prioritas dan perhatian yang lebih tinggi untuk pengelolaan waktu dan kesempatan seefisien mungkin seperti disampaikan oleh George Ritzer sebagai elemen efisiensi dalam masyarakat yang ter-McDonald-isasi.

Yang ketiga, persepsi kewajaran untuk praktek curang dan kerjasama dengan oknum pemerintah mendapatkan sokongannya dari persepsi bahwa masyarakat modern menempatkan kecerdikan setara atau di atas intelejensia dan moral. Bukan berarti kecurangan dan kolusi dalam wilayah personal mendapatkan legitimasi moralnya, tetapi perhatian yang lebih besar pada kecerdikan memiliki potensi penyelewengan sikap pada beberapa individu dalam mencapai tujuan organisasi.

Dari penguraian di atas mengenai sumber validasi atas persepsi kewajaran terhadap fenomena pengakuan mantan Teman Ahok bisa dipahami jika terdapat elemen kewajaran dalam noumena-nya yang bisa digunakan sebagai pioner untuk menemukan struktur masyarakat modern terutama masyarakat perkotaan.

Jika ditelaah secara menyeluruh, Teman Ahok juga berasal dari masyarakat yang sama. Sekuat apa pun upaya untuk mengubah politik praktis yang sudah menjadi atribut aksiden dari sebuah masyarakat, individu yang mengusahakan upaya tersebut tidak bisa melepaskan dirinya dari apa yang disebut dengan efek leveling oleh Soren Kierkegaard.

Dalam situasi leveling setiap individu akan mengalami pereduksian keakuannya pada tingkat dimana individu tidak bisa atau sulit memunculkan keontetikan. Dalam beberapa tingkatan, individu akan menjadi situasionis dan semangat perubahan tidak akan pernah menjadi revolusioner. Perubahan sosial yang kekurangan keotentikan ini semakin dipertegas dengan kecenderungan sikap meniru (mimetik) sehingga agen-agen perubahan sosial akan dituntut untuk memberikan kompensasi kepada kesadaran lama ketika memunculkan kesadaran baru. Sehingga dalam sisi logika ini berharap bahwa Teman Ahok akan menciptakan gerakan revolusioner justru menjadi ketidakwajaran.

Semangat altruisme sejati yang biasanya digunakan sebagai dewa penolong untuk memberikan solusi terhadap situasi sosial politik, terutama politik praktis, yang didefinisikan sebagai panggung untuk mengumbar individualisme yang memuja materialisme dan hedonisme, dengan sendirinya tidak lebih dari sekedar slogan karena ketidaklogisan adanya kelompok individu yang cukup kuat untuk tidak terkena efek leveling, kecuali mereka berada di luar masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang dengan sendirinya membuat mereka tidak memiliki legitimasi untuk melakukan perubahan.

Altruisme tidak akan pernah benar-benar berarti berjuang demi kepentingan bersama dengan benar-benar mengorbankan kepentingan pribadi dan hanya didefinisikan sebagai kecenderungan untuk mengupayakan kepentingan bersama dengan tetap menjaga keseimbangan dengan kepentingan pribadi. Sebagai konsekuensinya makna altruistik dalam kata sukarelawan akan menampilkan perubahan dan dalam perjalanan etimologinya, kata sukarelawan mungkin harus selalu membutuhkan tanda petik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline