Lihat ke Halaman Asli

Menelaah "Masyarakat-lah yang Salah, Bukan Sonya"

Diperbarui: 10 April 2016   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sonya Depari menghardik polwan. (screenshot dari video di Youtube)"][/caption]Pertama-tama perlu disampaikan di sini bahwa tulisan ini secara langsung bukan mengarah ke seorang siswi yang menghardik polwan di Medan, tetapi menanggapi atau menelaah persepsi-persepsi publik yang muncul terhadap kejadian tersebut. Fokus perhatian ini sekaligus untuk menjawab persoalan kepantasan pembahasan yang dipertanyakan oleh seorang komentator di tulisan sebelumnya. Dan pembahasan di bawah ini adalah uraian kasar filsafat tentang persepsi tersebut.

Judul “Masyarakatlah yang Salah, Bukan Sonya” menjadi hipotesis pertama untuk menelaah dan menguji konsep yang ada di baliknya, yaitu determinisme kausal dan menghubungkannya dengan kebutuhan struktur moral.

Secara ringkas, determinisme kausal adalah kemunculan suatu kejadian yang hanya disebabkan atau sebagai akibat dari kejadian atau kondisi di masa lalu dan memiliki (atau menampilkan) hubungan sebab-akibat yang erat kaitannya dengan hukum alam. Kata kausal sendiri sebenarnya bisa dihilangkan dan konsep seperti ini cukup disebut dengan determinisme saja.

Tetapi mengingat potensi ketumpangtindihan dengan determinisme relijius yang bersumber pada obsesi teologi terhadap kemahakuasaan Tuhan seperti contohnya, meskipun masih dalam perdebatan, dalam konsep okasionalisme atomik Asyharian dalam teologi Islam, maka kata “kausal” masih perlu untuk tetap dilekatkan. Tulisan ini tidak akan membahas konsep determinisme relijius.

Seperti yang sudah tercermin jelas dari definisi di atas, dalam konsep determinisme kausal dan hubungannya dengan moral tindakan siswi SMA tersebut tidak bisa disalahkan karena tindakan tersebut berasal dan hubungan sebab-akibat alamiah yang di luar kendalinya. Yang bisa disalahkan di sini adalah sebabnya, contohnya masyarakat yang dalam kasus ini gagal membangun konstruksi pendidikan yang ideal.

Kecukupan alasan untuk melakukan sebuah tindakan dijadikan alasan pembenaran yang kuat bahwa tindakan tersebut tidak salah. Determinisme kausal memang tampak berhubungan erat dengan Prinsip Kecukupan Alasan (Principles of Sufficient Reasons)-nya Leibniz yang menyampaikan bahwa semua tindakan pasti memiliki kecukupan alasan karena tidak ada tindakan tanpa alasan.

Dalam perdebatan filsafat klasik, konsep determinisme biasanya diposisikan berlawanan dengan konsep free will atau konsep kekuasaan untuk berkehendak. Meskipun konsep kompatibilistik sebagai jalan tengah menjadi solusi jitu untuk perdebatan itu, tetap saja muncul pernyataan-pernyataan yang mengandung elemen deterministik kausal yang menegasikan adanya free will. Yang menarik, seringkali dalam pernyataan-pernyataan pemberi motivasi romantis populer yang mengandung elemen-elemen deterministik kausal justru mengandung juga elemen-elemen free will yang ditekan. Sebuah kekacauan struktur kebenaran?

Tidak dipungkiri seorang individu akan dipengaruhi oleh kejadian atau kondisi di masa lalu, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa individu tersebut adalah wujud (existence) dan manusia sebagai wujud memiliki kehendak. Ketidakmungkinan memungkiri keduanya memunculkan logika konsep kompatibilisme , yaitu bahwa determinisme dan kehendak (free will) sebenarnya tidak saling bertentangan.

Dihubungkan dengan moral, logika kebenaran pernyataan bahwa si A tidak bisa disalahkan karena dia hanyalah produk dari sebuah masyarakat sulit dimengerti karena si A sebagai wujud pasti memiliki kehendak. “Hanyalah produk” adalah bentuk penegasian berani dan nekat terhadap konsep “ada” yang bukan “ada” dari “banyak ada” (being of beings) tetapi “ada” yang ada karena wujudnya (being there atau being in the world), sedikit mengutip Heidegger.

Karena adanya wujud (existence) yang berkehendak itulah moral bisa diterapkan. Dan dari moral tersebut lahirlah hukum tatanan ketertiban sosial yang dinamakan hukum positif. Tanpa moral (dan kehendak wujud yang harus dilekatkan padanya), bagaimana mungkin ada hukum? Akan sangat aneh sekali jika seluruh lembaga permasyarakatan harus ditutup karena semua narapidana dianggap tidak bersalah dari penelaahan filosofis yang paling bijak karena yang bersalah adalah masyarakat yang mengondisikan mereka. Tentu saja realita ini tidak terbayangkan wujudnya dalam waktu dekat ini, kecuali jika utopia masyarakat komunis akhir-akhirnya benar-benar terwujud.

Sebagai selingan, ada kisah seorang narapidana yang menuntut Tuhan karena menurut dia Tuhanlah yang salah karena menciptakan masyarakat yang mengondisikan dia melakukan tindakan yang berujung hukuman pidana kurungan. Tentu saja pihak pengadilan tidak mengabulkan tuntutan itu karena Tuhan bukan subyek hukum!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline