Lihat ke Halaman Asli

Catatan Singkat untuk Pembela Sonya

Diperbarui: 9 April 2016   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti diketahui luas, kasus pelajar SMA yang “berargumentasi” dengan seorang polwan telah menarik perhatian luas di dunia maya. Kasus ini seakan mencapai klimaks ketika ayah siswi SMA tersebut dikabarkan meninggal dunia. Gelembung cibiran dan hujatan netizen atas tindakan siswi tersebut seakan pecah dan digantikan dengan nuansa kebijakan yang balik mengkritisi kelakuan netizen.

Mendapatkan posisi yang lebih baik, bermunculan lah pendekar moral yang menyerang balik ulah netizen yang dianggap tidak patut dengan menyampaikan dalil-dalil yang mendapatkan beberapa kekuatannya dari filsafat permisif para relatifis dengan pandangan perspektifisme sosial dan kultur mereka yang menusuk kesana kemari dengan belati kebenaran eksistensialis kontekstual ala "existentialism is humanism" Sartre yang dipahami di permukaannya saja.

Jika menjadikan alasan sifat labil seorang remaja untuk mendapatkan legitimasi kewajaran sosial tidak bisa disebut sebagai sikap permisif untuk mendapatkan kekuatan kewajaran atas suatu tindakan, maka ada kebutuhan sikap lain yang lebih berpijak pada struktur moral yang kuat sebagai penggantinya. Dan pembela moral seharusnya sadar bahwa moral harus memiliki struktur sebelum mendapatkan pembelaan. Sesuatu tanpa struktur tidak akan bisa dibela!

Apakah kita akan menerima kejadian ketika anak berusia 9 tahun menghardik orang yang lebih tua sebagai kejadian yang wajar karena perkembangan dinamika sosial dan tidak memasukannya kedalam kategori tindakan tidak bermoral? Jika jawabannya Iya, perkembangan dinamika sosial yang mengakibatkan terbentuknya struktur sosial yang pragmatis dan hedonis menjadi dasar alasan kuat untuk membenarkan tindakan korup seseorang yang , contohnya dalam sebuah kasus, menganggap pengumpulan materi sebagai cara untuk memperoleh kehormatan diri yang dia tidak pernah peroleh sebelumnya. Jika memang demikian, tidak mengherankan bangsa ini selalu terbelit dengan persoalan korupsi.

Benar-salah harus tetap ada dan harus selalu dijaga tetap ada terutama oleh orang-orang yang merasa diri mereka bijak. Pembunuh di tell-tale heart (Edgar Allan Poe) harus mendapatkan label bersalah meskipun tindakannya memiliki kecukupan subyektif karena dalam struktur sosial manapun membunuh di luar peperangan dan upaya pembelaan diri adalah bersalah! Sama seperti menghardik orang yang lebih tua sebagai wujud pelanggaran konsep penghormatan terhadap manusia lain. Apakah ada struktur sosial yang dibangun dengan pondasi pelecehan martabat kemanusiaan?

Menjadikan kecukupan subyektif sebagai dasar alasan untuk membenarkan tindakan secara obyektif itu adalah pemikiran yang sulit untuk dimengerti. Struktur moral membutuhkan landasan dan tiang-tiang penyangga obyektif seperti disampaikan dalam imperatif kategoris Kantian (meskipun pandangan Kantian juga bersandar pada pengalaman). Idealisme transendental dalam konsep fenomenologinya Edmund Husserl juga dibuat untuk menghindarkan penilaian moral supaya tidak terjerembab jatuh ke jurang tanpa dasar relatifisme sebagai efek pendangan Nietschze.

Terlepas dari penjelasan metafisik, cibiran netizen sudah menjadi bukti empirik bahwa tindakan siswi SMA tersebut tidak memiliki dasar legitimasi kewajaran sosial. Tidak ada bukti yang lebih valid dalam aktualitasnya selain bukti-bukti empirik. Bukti empirik yang gamblang tidak bisa disangkal dengan konsep-konsep metafisik yang kabur dengan menghilangkan pondasi struktur metafisik dalam bangunan moralitas.

Penggunaan kata “bully” juga mencerminkan konsep-konsep moral metafisik yang kabur tersebut. Seseorang yang dicibir karena merasa memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi sistem hukum dibalik menjadi seorang yang lemah dan tidak berdaya. Konsep relatifisme akan berkutat pada pembalikan-pembalikan karena absennya struktur.

Relatifisme absolut bisa menjadi virus bagi perkembangan filsafat karena tidak adanya dasar struktur dan membuat filsafat terombang-ambing di lautan luas ketidakpastian. Dan virus tersebut menyebar cepat di dunia yang gemar berfilsafat palsu dengan maksimnya yang terkenal “kebenaran itu relatif.”

Membela orang jangan sampai menghilangkan konsep benar-salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline