Lihat ke Halaman Asli

Larangan Tayangan Kebanci-bancian : Cerminan Wajah Pendidikan Kita?

Diperbarui: 23 Februari 2016   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekiranya tidaklah terlalu mengejutkan mendengar bahwa KPI menerbitkan larangan tayangan kebancian-bancian karena lembaga penyiaran ini memang sering mengeluarkan serangkaian larangan untuk program-program TV yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan standar moral agama sebagai tugasnya untuk mengawasi pelaksanaan regulasi penyiaran. Selain itu, hubungan erat antara institusi agama dengan otoritas sekuler di negara sekuler relijius memang akan memunculkan perkawinan unik antara pemaknaan sekuler dengan pemaknaan relijius terhadap sebuah realitas dan hubungan seperti ini membuat keputusan seperti larangan di atas tidak menciptakan keheranan nalar publik.

Salah satu sisi untuk memahami keputusan tersebut berasal dari tujuan pendidikan bangsa ini. Tentu saja lembaga-lembaga penyiaran sebagai media pendidikan memiliki tanggungjawab untuk mempertahankannya, seperti halnya lembaga-lembaga publik lainnya terutama yang memiliki kaitan erat dengan pendidikan baik formal dan informal.

Sistem pendidikan tidak lepas dari karakter sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang menghargai segala bentuk realitas akan berupaya menyajikan realita-realita tersebut dalam sistem pendidikan moralnya. Menyajikannya sebagai materi dialektika untuk mencapai kematangan kewarganegaraan dalam diri individu untuk mewujudkan impian tatanan sipil ideal yang di dalamnya terdapat keadilan bagi seluruh warga negara mungkin menjadi target pendidikan lanjutannya.

Di tempat lain, sebuah bangsa mungkin akan mendahulukan sikap protektif dan memprioritaskan penyortiran informasi untuk melindungi warga dari anomali moral yang muncul karena hubungan antara elemen-elemen pembentuk konsep moral. Elemen-elemen asing yang dianggap berbahaya dan bisa meruntuhkan kepercayaan individu pada sistem moral yang bersandar pada norma-norma sosial diperlakukan seperti virus penyakit yang akan menyerang organ-organ penting sistem moral masyarakat.

Beberapa dekade sebelumnya, bangsa ini menganggap sosialisme adalah virus berbahaya dari pengalaman bangsa ini menghadapi gerakan revolusioner partai komunis. Pencampuradukkan paham sosialisme dengan paham politik praktis komunisme menjadikan paham-paham kiri diberangus dari sistem pendidikan. Pada tahun-tahun itu jangan berharap bisa mendapatkan informasi tentang paham-paham kiri dari tayangan TV sebagai salah satu unsur dalam sistem pendidikan.

Tidak begitu lama kemudian, mulai banyak anak-anak muda mengenakan kaos bergambar pahlawan-pahlawan sosialis revolusioner yang menjadi simbol perlawanan mereka terhadap apa yang disebut dengan hantu kapitalisme. Nama-nama seperti Tan Malaka beberapa kali disebut di tayangan TV. Virus itu ternyata tidak dianggap berbahaya lagi meskipun sistem pendidikan formal tampaknya masih menganggap penting untuk melindungi generasi bangsa ini dari virus yang pernah selama beberapa dekade disebut anti-Pancasila, meskipun tidak dalam intensitas yang sama lagi. Jika kita masih menganggap sosialisme adalah virus anti-Pancasila, apakah kita akan menganggap mereka yang mengenakan kaos-kaos itu orang sakit?

Pendidikan agama juga menampilkan apa yang sekiranya tidak berlebihan jika disebut utopia parsial. Apa yang diajarkan di sekolah-sekolah dan juga di tayangan TV adalah agama-agama yang penuh dengan keindahan dan kedamaian, sebuah anti-virus untuk radikalisme. Sampai kita semua terkejut ketika sistem keterbukaan informasi dan pengalaman sendiri bangsa ini menunjukkan “sesuatu yang tidak masuk akal” yang bisa muncul dari agama atau lebih tepatnya persepsi tentang ajaran agama. Pendidikan yang tidak mengajarkan sistem perseptual kognitif kemudian menciptakan keramaian “bukan agamanya tetapi orangnya” sebagai efek keterkejutan di media sosial. Hanya sedikit yang mengkritik sistem pendidikan kita (beserta tayangan TV di dalamnya). Atau adakah kiritik itu?

Sekarang kita beramai-ramai mengutuk LGBT, menganggapnya sebagai virus penyakit (atau bahkan ada yang terlalu jauh membawanya ke wilayah teori konspirasi). Semakin banyak tulisan yang menghujat LGBT sama seperti beberapa dekade sebelumnya ketika siswa-siswa SD diajarkan untuk menghujat sosialisme atau memilih kekuatan politik mana yang menjadi satu-satunya dewa penyelamat bangsa ini atau sama seperti ketika kita dibuai romantisme kisah perjalanan agama dalam persepsinya tanpa pernah mempertanyakan "apakah romantisme ideal itu ada wujudnya?".

Mungkin di suatu hari, pada suatu kesempatan, kita bertemu dengan seorang yang divonis mengidap penyakit moral ini. Di saat itu lah kita akan dihadapkan pada realita yang sesungguhnya. Kita bisa saja terus mengutuk mereka dan menganggap mereka adalah dosa yang harus dibersihkan atau kita bisa memahami dan mengakui keberadaan mereka dan pencabutan hak-hak mereka sebagai warga negara adalah tindakan diskriminatif yang bisa mengancam perjalanan bangsa ini menemukan wujud kemanusiaan yang teduh bagi semua warga negaranya, apa pun keyakinan mereka.

Saat itu anti virus yang ditanamkan pada pikiran kita akan bekerja, sama seperti anti virus untuk sosialisme dan radikalisme agama. Anti virus yang ketersediaan stoknya tidak pernah habis karena menggunakan mesin “perjuangan suci mempertahankan norma sosial dan ajaran agama” itu akan berhadapan dengan realita dan hasil dari dialektika akan memutuskan seperti apa wajah bangsa ini menghadapi realita LGBT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline