Lihat ke Halaman Asli

Antara Cinta, Patah Hati dan Bunuh Diri

Diperbarui: 20 September 2015   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang pasti memiliki cinta jika cinta adalah ciri kemanusiaan yang dibawa atau melekat pada setiap orang sejak dia lahir. Tidak mungkin ada orang yang dilahirkan tanpa cinta karena yang demikian akan membuatnya menjadi bukan manusia. Tetapi cinta seperti ini adalah cinta dalam bentuknya yang universal sebagai akibat dari aliran kebaikan dari sumber pertama kebaikan yang menjadi sumber pertama cinta.

Membahas cinta seperti itu pasti masuk ke pembahasan metafisik karena dalam bentuknya seperti itu cinta akan menjadi esensi dari kemanusiaan yang akan selalu dituntut untuk diartikan kebaikan. Pembahasan metafisik esensial akan melahirkan konsep kebaikan universal yang tidak terikat pada wujud selain wujud universal manusia. Artikel ini tidak akan membahas cinta seperti itu dan lebih mengartikan cinta sebagai wujud eksistensial yang wujudnya sudah berada dalam keterikatan kausalitas.

Artikel ini juga tidak akan membahas perwujudan cinta dalam semua wujud eksistensialnya terhadap semua obyek karena pembahasan seperti itu akan sangat panjang lebar. Fokusnya lebih ditekankan pada obyek cinta terkait hubungan lawan jenis.

Hubungan cinta antara dua individu yang berlawanan jenis sulit untuk digambarkan wujudnya yang sebenarnya yang menampilkan semua atribut di dalamnya. Berbagai macam kisah percintaan berusaha untuk menggambarkannya dengan baik dalam perlombaan romantisme upaya pendefinisian cinta yang akurat.

Kisah Romeo dan Juliet mungkin pemenangnya. Tidak ada kisah percintaan yang digambarkan begitu indah, dramatis dan tragis seperti kisah ini. Yang menarik adalah apakah nilai-nilai kemanusiaan, jika tetap berpegangan pada cinta adalah wujud dari esensi kemanusiaan, harus digambarkan dengan akhir yang tragis.

Jika kisah ini bertentangan dengan  pandangan sebagian besar moralis yang beranggapan bahwa setidaknya dari konsep categorical imperative muncul keharusan universal untuk menghindari bunuh diri karena bertentangan dengan nilai-nilai universal moralitas maka kisah ini bukan kisah yang baik. Dan kemenangannya harus ditangguhkan terlebih dahulu.

Tetapi siapa kemudian yang menjadi pemenangnya karena cinta dalam wujudnya tidak akan pernah menampilkan atribut lengkap karena atribut lengkap hanya menjadi pemilik realita akhir, sang pemilik cinta yang sebenarnya. Bukankah kemudian perlombaan ini seperti perlombaan tanpa ada akhir dan hanya menghasilkan perenungan. Atau mungkin perenungan itu saja yang dibutuhkan, bukan perayaan.

Jika wilayahnya berada pada perenungan dan bukan kebenaran an sich, tentu saja patah hati karena penolakkan tidak mendapatkan dasar rasionalnya. Patah hati harus dimaknai hanya sebagai penerimaan kesan yang sangat menyakitkan karena ide yang terbentuk pada keyakinan kognitif sebelumnya mengatakan bahwa seharusnya tidak ada penolakkan. Dan sebaliknya, jika keyakinan kognitif memberikan ruang terhadap penolakkan maka perasaan patah hati (selama patah hati dimaknai sebagai kesan yang sangat menyakitkan, bukan perasaan sakit dengan intensitas dibawahnya), tidak akan muncul.

Apakah dengan hal ini tesis awal bahwa patah hati  tidak memiliki dasar rasionalitasnya menjadi keliru karena dengan adanya keyakinan sebelumnya yang kuat bahwa penolakkan tidak akan terjadi akan memunculkan patah hati setelah penolakkan.

Jawabannya  bisa dialektik. Salah satunya adalah bahwa ketidakrasionalitasan yang disebutkan di awal adalah ketidakrasionalitasan patah hati karena ketidakpantasan meletakkan dan menterjemahkan cinta sebagai wujudnya yang eksistensial yang melibatkan dua individu dengan wujud eksistensinya masing-masing, sebagai wujud yang sebenar-benarnya wujud dan persoalan yang ada dalam wujud tersebut menjadi pembenaran moral universal untuk merasa patah hati.

Dasar rasionalitas patah hati di contoh kemudian adalah masuk ke wilayah persepsi seseorang terhadap fenomena yang dia tangkap dan bagaimana pengalamannya memprosesnya secara empirik. Kerasionalitasan subyektif yang menjadi ketidakrasionalitasan obyektif karena tidakadanya resep universal untuk  memperoleh sikap universal apa yang harus dilakukan untuk mensikapi persoalan cinta (karena moralis akan mengutuk Romeo dan Juliet, apalagi kaum theis yang menganggap bunuh diri adalah dosa besar).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline