Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Arab Bahasa Surga

Diperbarui: 15 Agustus 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul diatas sebaiknya dipahami sebagai hipotesis awal yang predikatnya bisa dilekatkan pada subyek mana pun (pada bahasa mana pun) meskipun pembahasannya kemudian akan mengambil contoh teologi Islam. Oleh sebab itu tulisan ini bukanlah tulisan tentang agama atau komentar terhadap dalil-dalil agama tetapi lebih ditujukan pada pembahasan konsep metafisik pada umumnya, dan konsep ketuhanan pada khususnya. Dengan alasan inilah tulisan ini juga akan menyingkap beberapa konsep teologi yang mendasari klaim yang dimaksud.

Klaim bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga akhir-akhir ini menjadi polemik yang secara tidak langsung menampilkan dialektika antara konsep-konsep ketuhanan yang ada. Polemik ini semakin menyedot perhatian publik ketika seorang tokoh relijius menyampaikan klaim ini. Perlu disampaikan di sini bahwa tulisan ini juga tidak menempatkan dirinya sebagai komentar terhadap klaim perseorangan, tetapi sekali lagi sebaiknya dibawa ke dialektika konsep ketuhanan.

Menurut akar linguistiknya Bahasa Arab dikategorikan masuk dalam keluarga bahasa semitik atau bahasa dari sub-famili Afro-Asiatik. Meskipun demikian letak bahasa Arab dalam bahasa semitik masih diperdebatkan apakah masuk ke wilayah tengah atau masuk ke wilayah barat daya. Dalam perkembangan historisnya bahasa Arab dibagi menjadi Proto-arabic, Pre-classical/Classical Arabic, Neo-Arabic dan Middle Arabic.  

Penyatuan atau pembukuan Al Qur’an berlangsung pada masa Klasik disertai dengan kebutuhan untuk memiliki bahasa resmi kerajaan. Akhirnya pada masa dinasti Umayah (Khalifah Abdul Al Malik, sekitar tahun 700 M) bahasa Arab menjadi bahasa resmi kekhalifahan Islam. Dengan kepentingan ini lah para ahli tata bahasa melakukan proses penyamaan dan sistematisasi berbagai macam materi linguistik untuk menunjukan kesempurnaan bahasa yang dipilih Tuhan menjadi bahasa pewahyuan.

Dari perjalanan historisnya, bahasa Arab memiliki kesamaan dengan bahasa-bahasa lain. Yaitu berkembang dari bahasa induk sampai pada satu titik diklaim telah mencapai kesempurnaan (keefektifan sebagai alat komunikasi yang mewadahi ide). Jika bahasa Arab mengalami pengalaman historis seperti bahasa lainnya maka bahasa Arab juga dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain yang pembuktian historisnya bisa dilihat dari akibat kebijakan penerjemahan sumber-sumber teks helenistik pada masa dinasti Abassid dalam bentuk masuknya kosa kata helenistik ke dalam bahasa Arab.

Jika hipotesis di atas dipahami sebagai campur tangan Ilahi dalam bentuk kekhususan dan keistimewaan, maka sebuah bahasa yang diklaim menjadi bahasa surga seharusnya lepas dari keharusan untuk mengikuti hukum alam, dalam hal ini terkait perkembangan bahasa yang ditandai dengan kedinamisannya sebagai wadah ide. Setidaknya ada titik dimana keistimewaan yang lepas dari hubungan sebab akibat dalam bentuk dinamika sosial itu bisa ditunjukkan. Katakanlah titik itu ada, maka tentu akan muncul kebingungan pada pengguna bahasa karena keterlepasan dari makna yang diwakili oleh kosa kata yang melekat padanya hubungan kausalitas sosial. Jadi dalil interupsi Ilahiah sebagai bentuk keistimewaan menjadi gugur.

Jika hipotesis di atas dipahami sebagai keberadaan bahasa dalam wilayah transendental, maka seharusnya klaim disertai dengan argumentasi metafisik, tidak disampaikan begitu saja. Argumentasinya bisa berawal dari alasan kebutuhan akan bahasa pada wilayah atau lingkungan transendental. Dan pembahasan seperti ini akan membagi teolog kedalam dua kubu, yaitu non-transendentalis (anthropomorfis, literalis, ortodoks) dan transendentalis atau terbelah menjadi pandangan yang kaku (rigorist) dan pandangan yang interpretatif fleksible (latitudinarian).

Non-transendentalis beranggapan bahwa Tuhan memiliki atribut kekal seperti pengetahuan, penglihatan dan daya ucap dan dengan atribut ini lah Tuhan mengetahui, melihat, dan berbicara. Transendentalis menolak penerapan atribut pada Tuhan selain esensiNya. Bagi non-transendentalis khususnya anthropomorfis, Tuhan memiliki daya ucap dan dengan daya ucap ini lah Tuhan berbicara, meskipun Tuhan berbicara dengan cara yang berbeda dengan manusia. Kemudian karena Tuhan berbicara maka tentu saja Tuhan membutuhkan bahasa. Tetapi keharusan Tuhan untuk memilih salah satu bahasa dari sekian banyak bahasa menjadi bahasa ilahiah adalah anthropomorfisme ekstrem. Anthropomorfisme ekstrem (menyamakan atau melakukan personifikasi Tuhan dengan manusia dengan cara ekstrem) justru “merendahkan” Tuhan karena mengikat Tuhan pada keharusan membutuhkan atribut (problematika yang sama terdapat pada menempatkan Tuhan pada ruang dan waktu seperti klaim bahwa Tuhan memiliki singgasana dalam pengertian yang sebenarnya).

Transendentalis yang terobsesi pada keesaan akan menolak klaim tersebut karena atribut yang lepas dari esensi Tuhan adalah pelanggaran dan penolakkan terhadap keesaan. Tuhan yang dipandang sebagai sebuah entitas yang meliputi semuanya (all embracing) tentu saja tidak membutuhkan daya ucap dan pengucapan sebagai atribut yang berbeda dari esensi (oleh sebab itu membutuhkan bahasa). Tuhan yang menggunakan bahasa tertentu adalah pelanggaran terhadap prinsip keesaan karena akan ada dua entitas yaitu Tuhan dan daya ucapnya seperti manusia dan daya ucapnya. Tuhan berbicara dengan esensinya, bukan atributnya. Sebagai necessary existence, hanya Tuhan yang mampu melakukan itu dan manusia sebagai contingent existence berbicara melalui atributnya (yang terwujud dalam alat komunikasi seperti organ-organ fisiologis, akal, dan bahasa).

Anthropomorfisme ekstrem sebenarnya adalah peringatan merah terhadap keesaan. Monoteisme semitik dengan tiga prinsip utamanya dalam wilayah ketuhanan yaitu maha kuasa (omnipotence), ada dimana-mana (omnipresence), dan maha mengetahui (omniscience) selalu dihadapkan pada keharusan untuk menjaga ketiga ciri ini ada dalam konsep ketuhanannya. Dalam teologi Islam sendiri, tiga elemen; naql (tradisi), akal (aql) dan mistik (kashf) akan berinteraksi dan melahirkan konsep-konsep teologi dari yang sederhana sampai yang abstrak dan rumit. Jika klaim bahwa Tuhan membutuhkan bahasa tidak disertai dengan penjelasan yang koheren, dikhawatirkan klaim ini adalah bentuk interaksi dari tiga elemen tersebut yang hanya menekankan tradisi bukan akal.        




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline