Jika sebuah kata dimaksudkan untuk melahirkan ide negatif maka pasti setidaknya yang terlahir dari pikiran ketika mendengar kata itu adalah ide negatif. Begitu juga untuk yang sebaliknya. Apakah sebuah makna dari kata benar-benar mengandung ide negatif atau positif? Jawabannya sebagian terletak pada realita yang menciptakan pemaksaan yang menjadi latar belakang pemaknaan. Keterpaksaan yang diciptakan oleh realita yang didefinisikan oleh agen-agennya. Untuk memahami makna sebenarnya dari sebuah kata setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Salah satunya melalui studi etimologi dan terminologi sebagai pengembangannya. Dengan semangat dekonstruksi ini lah, tulisan singkat ini akan mengupas makna dari kata nafsu yang tentu saja sudah bukan kata yang asing lagi.
Apa yang terlintas di pikiran ketika mendengar kata “nafsu” atau “bernafsu” yang berdiri sendiri lepas dari konteksnya? Jika muncul dua pilihan, negatif dan positif dalam wilayah praktek moral (moral dalam bentuk tindakan), jika menggunakan kata nafs sebagai akarnya, pemaknaannya terjebak dalam keterlanjuran membawa makna nafsu jauh ke depan, pada wilayah tindakan, bukan membawa maknanya ke belakang, ke wilayah hulu yang meskipun melekat pada individu (subyektif) tetapi bisa ditemui pada semua individu (universal). Dan jika pilihannya mengerucut pada makna negatif maka yang terjadi adalah pergeseran pemaknaan lebih jauh dalam bentuk pengevaluasian tindakan (apakah tindakan tersebut sesuai dengan prinsip moral atau tidak).
Dalam KBBI nafsu memiliki beberapa makna (nafsu/naf·su/ n 1 keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yg kuat: krn kecewa, -- nya untuk belajar mulai berkurang; 2 dorongan hati yg kuat untuk berbuat kurang baik; hawa nafsu: tidak mungkin hal baik itu dilakukan tanpa melawan -- pribadi; 3 selera; gairah atau keinginan (makan): ikan asin dan sayur asam menambah -- makan; 4 panas hati; marah; meradang: -- nya meluap ketika melihat saingannya itu). Dan problematika selalu muncul ketika terdapat beberapa pemaknaan yang menampilkan kontradiksi (terlihat pada makna 1 dan 2).
Problematika pemaknaan muncul dari keharusan untuk merubah ide dan menyesuaikannya dengan konteks. Persoalan lebih jauh terletak pada ketika kampanye sosial lebih cenderung memilih salah satu pemaknaan maka kesan-kesan yang ditangkap dari pengalaman akan memunculkan penguatan ide (kecenderungan memilih salah satu makna dan mengabaikan makna yang lain). Dan pada dua makna ini lah fokus tulisan ini ditujukan.
Dari sisi etimologi, akar kata nafsu bisa jadi berasal dari kata nafs yang berasal dari bahasa arab (atau nefesh dari bahasa Ibrani). Kata nafs sering muncul di Al Qur’an dengan arti diri atau ke-dirian (self) atau jiwa (soul). Dalam pemaknaan ke-dirian nafs dihubungkan dengan tanggungjawab dan akuntabilitas manusia yang memiliki kehendak (free will) dan intelejensia untuk membawa ke-dirian atau jiwa mereka ke jalan kebaikan dan atas usaha itulah penghargaan (dan penghukuman) bisa dilekatkan padanya. Nafs dalam pengertian ini tidak memiliki atribut “baik” atau “buruk” yang melekat (inheren) padanya tetapi kebaikan dan keburukan bisa berasal darinya.
Yang menarik adalah menghubungkan nafs dengan konsep sufisme. Sufisme memberikan pemaknaan nafs lebih jauh dengan membagi nafs menjadi tiga sesuai dengan konsep pencarian kebenaran bertahap monistik sebagai ciri khas sufisme.
- Nafs yang mendorong manusia melakukan tindakan buruk (an-nafs al-ammarah). Nafs dalam tahap ini adalah bentuk nafs yang paling dasar. Nafs dalam tahap ini tidak dikendalikan oleh akal dan cenderung menjadi liar.
- Nafs yang menuntut manusia untuk melakukan pengkoreksian diri (an-nafs al-luwwamah). Pada tahap ini kesadaran sudah muncul disertai dengan tuntutan untuk meneliti apa yang telah dan akan dilakukan. Terjadi proses swa-dialektika dan pengkoreksian diri untuk menuju ke kondisi yang lebih baik.
- Nafs yang berada pada kedamaian (an-nafs al-mutma’innah). Pada tahap ini jiwa sudah mencapai kedamaian. Keyakinan sudah terpegang sangat kuat, bahkan menyatu dengan diri. Pada tahap ini, bagi sufis sudah menjadi kewajiban inheren untuk meninggalkan semua urusan materi dan dunia dan merasa damai dengan kehendak Tuhan.
Tidak lah mengherankan jika konsep bertahap sufisme akan bermuara pada kesempurnaan spiritual dan meninggalkan materi. Kritik terhadap sufisme terletak pada tujuan akhir sufisme yang dianggap anti materialisme dan memiliki elemen-elemen praktek kependetaan. Tetapi yang menarik adalah bahkan pada tahap terakhir sufisme masih menggunakan kata nafs, bukan menginggalkannya dan menggantinya dengan yang baru.
Kembali ke makna 1 dan 2 dalam KBBI dan menghubungkannya dengan akar kata, nafs (sejauh ini landasannya hanyalah kedekatan bentuk dan pelafalannya). Makna pertama yaitu keinginan hati yang kuat sekilas tampak sama dengan definisi nafs yaitu ke-dirian atau jiwa. Tetapi berbeda dengan pemaknaan nafs yang tidak memiliki atribut ‘baik’ dan ‘buruk’, pemaknaan pertama menampilkan atribut kebaikan (atau keburukan) seperti contohnya nafsu belajar. Penjelasannya adalah pemaknaan pertama sudah terbawa hanyut ke hilir di mana sudah terjadi proses penggunaan kehendak (free will) sehingga produknya bisa terevaluasi menjadi baik dan buruk. Dalam pemaknaan sufisme, pemaknaan pertama masuk dalam kategori kedua, an nafs al luwwamah. Tetapi nafs ini setidaknya harus dipahami sebagai kecenderungan atau dorongan, bukan tindakan seperti yang dirasakan pada makna pertama dalam konteksnya nafsu belajar.
Makna kedua yaitu dorongan hati yang kuat untuk melakukan hal yang tidak baik jelas bertentangan dengan konsep nafs secara umum. Kategori pertama dalam konsep nafs sufisme, an nafs al ammarah, mungkin cocok dengan pemaknaan kedua. Tetapi perlu diingat bahwa dalam konsep sufisme sekali pun dalam tahap terakhir, kata nafs masih digunakan, bukan dihilangkan. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah selalu menggunakan kata “hawa nafsu” untuk pemaknaan ini, bukan nafsu.
Dari perbandingan makna tersebut, jelas ada arah pergerakan etimologi yang merubah atau mereduksi kata nafsu menjadi kata negatif. Dalam penggunaan sehari-hari nafsu lebih dimaknai dalam makna kedua yang seharusnya dibatasi penggunannya dengan kata “hawa nafsu”. Bahkan makna pertama pun terlihat sudah bergerak jauh ke depan dengan menampilkan atribut baik dan buruk.
Tentu saja pernyataan “memilih hati atau nafsu” adalah pernyataan yang kurang pas jika memakai konsep nafs karena nafs akan selalu melekat pada manusia sebagai ciri kemanusiaannya. Atau “jangan ikuti nafsumu, ikutilah kata hatimu” menjadi kurang pas jika dipahami dalam konsep nafs, kecuali kata nafsu diganti dengan hawa nafsu tetapi persoalannya nafsu dalam pemaknaan kedua juga disahkan sebagai pengganti “hawa nafsu”.