Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Salah dengan Menjadi Individualistis (Bagian 3-Tamat)?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Jon? kau didalam?" ada suara memanggilku. Suara ayahku!

“Ya ayah.” jawabku cepat. Segera aku berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu.

“Ayah kok nggak menghubungi aku terlebih dahulu? Ayah naik apa? Ayah ada perlu apa? Apa terjadi sesuatu di rumah? Ibu baik-baik saja kan?" tanyaku bertubi-tubi.

Ayah hanya tersenyum saja dan kemudian bertanya, “Apa aku boleh masuk?"

“Oh…. ya Ayah. Hanya saja sedikit berantakan. Sebentar aku akan rapikan dulu Yah.”

“Sudahlah... nggak perlu. Ayah juga nggak lama."

“Mari-mari Yah" kataku mempersilahkan Ayah masuk.

“Kau nggak janjian ketemu Dewi hari ini?" tanya Ayah setelah duduk di sebelah tumpukan lukisan yang kubiarkan bersandar di dinding. Lukisan-lukisan yang tidak diminati orang. Lukisan-lukisan yang terlalu gamblang, kurang romantis seperti kata Dewi, atau bahkan nggak sama sekali.

“Nggak tahu Yah. Aku tidak setiap hari bertemu dia." jawabku heran. Kenapa Dewi, …..bukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku tadi.

“Kau serius sama dia?” tanya Ayah pelan.

Aku tersentak. Hatiku berdebar bukan karena kemantapan sikapku tetapi aku sadar ada sesuatu dibalik pertanyaan Ayah, sesuatu yang membutuhkan penjelasan disertai argumen kuat untuk meyakinkan Ayah. Kenapa harus di pagi ini? Aku sama sekali tidak berminat berdebat. Setelah hatiku sedikit tenang, kuangkat wajahku dan menjawab pelan, “Ya.”

Sejenak kami berdua berdiam diri, membiarkan angan-angan kami merenggut kesadaran kami yang terombang-ambing antara dua keyakinan. Kupandang wajah Ayah yang sudah dihiasi banyak keriput, wajah yang aku yakin menyimpan sesuatu yang tersembunyi di bagian yang paling dalam. Kami memang memiliki perbedaan sikap tetapi Ayah tetap sosok yang aku hormati. Keteguhan dan kekerasan hatinya mengelola bengkel peninggalan almarhum kakek dan sikapnya yang pantang menyerah ketika dihadapkan pada titik nadir bisnis itu membuatku merasa harus menguatkan hati terlebih dahulu sebelum menatap kedua matanya. Ayah bisa saja menurut saran Ibu, menjualnya pada pengusaha kaya biarpun harganya tidaklah pantas. Ayah bisa saja menyerah dan bekerja di tempat temannya yang sukses membuka bengkel di luar kota. Tapi bagi Ayah, bengkel itu bukan sekedar uang, itu yang tidak bisa dipahami Ibu dan saudara-saudaraku. Hanya aku yang memahami itu...ya hanya aku.

“Baiklah.” jawab Ayah tiba-tiba, enteng seakan-akan hal itu bukan masalah baginya. "Tapi kau harus menjelaskannya ke Ibumu. Mungkin kau harus melakukan seperti yang biasa kau lakukan. Ketika saat itu tiba Ayah akan diam saja, berbuatlah sekuatmu untuk meyakinkan Ibumu. Dan siapkan dirimu menuju kemana pilihanmu itu akan membawamu. Maksud Ayah paman-paman dan bibi-bibimu dari sisi Ibumu. Kau tahu resikonya. Sawah dan tanah bagianmu dari sisi Ibumu mungkin tidak akan kauterima. Kau siap kan?”

Akhirnya datang juga. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Keluarga Ibuku memang keluarga yang menempatkan lahiriah ke tempat yang penting. Ya itu memang penting tapi kadang sikap keluarga Ibuku terlalu berlebihan. Kondisi Dewi yang lumpuh memang akan menjadi masalah besar bagi keluarga Ibuku, apalagi dia tidak bisa memberikan keturunan karena sebab yang sama. Aku diam, mencoba menelusuri keheningan, menunggu pertanda. Tapi pertanda itu tidak kunjung datang. Tuhan seakan-akan berkata “Aku tinggalkan kau sendiri, gunakan apa yang Aku berikan kepadamu, gunakan itu untuk membuat keputusan yang akan kau pertanggungjawabkan nanti di depanKu. Bukankah itu yang menurutmu lebih baik? Dan Tuhan benar-benar meninggalkanku, membiarkanku duduk disini, bergelut dengan pikiranku. Tapi aku tidak akan mengeluh pada Dia, aku tidak akan mengeluh pada siapapun. Keputusanku adalah keputusan sadarku yang bisa kupertanggungjawabkan pada Tuhan dan manusia.jung datang.n karena kecelakaan yang sa kau lakukan.

Aku menatap Ayah, tidak ada keraguan lagi dan berkata, "Ya Ayah...aku siap."

Ayah tidak menjawab…hanya manggut-manggut. Aku tersenyum simpul. Ya itu lah Ayahku. Ayah yang aku merasa kenal. Dan ternyata aku keliru. Ayah justru beranjak berdiri dan berjalan menuju ke jendela.

“He! pemandangannya cukup bagus ya?”

Aku berdiri dan berjalan menghampirinya tetapi berhenti persis di belakangnya. "Ya Ayah."

“Rumah-rumah itu tampak bagus dari sini. Ada sesuatu yang menarik dari rumah-rumah itu. Tidak satupun yang sama."

“Ya Ayah” kataku mengiyakan. Aku tersadar. Sejak pagi tadi aku bergumul dengan keyakinan individualisme-ku yang membawaku ke pemaksimalan kepemilikan pribadi. Membuatku merasa tidak cukup.Ya masih saja ada yang kurang. Itulah alasanku membuat lukisan-lukisan yang romantis supaya laku dan keakuanku akan semakin maksimal dan aku merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. Tetapi ada sesuatu, ….sesuatu yang menunggu dalam kegelapan, siap menerkamku, melindas kemanusiaanku. Jika kebebasan untuk melahirkan yang maksimal itu bergerak dengan liar maka akan muncul dominasi dan eksploitasi dalam bentuk sikap yang tidak memanusiakan orang lain. Dan itu tidak bisa dibenarkan. Keakuanku harus aku bawa ke arah sikap yang saling menghormati keakuan orang lain. Sikap yang aku banyak pelajari dari Dewi. Sikap yang justru membebaskan. Membawaku menuju ke puncak kemanusiaanku. Dan jika antara aku dan Dewi saling menghormati, kami tidak membutuhkan bentuk jalur kekuasaan yang tegas. Ya suatu saat nanti aku akan menjadi kepala keluarga tetapi kepala keluarga yang tidak menggunakan kekuasaanku untuk mendominasi Dewi atau anak-anak yang kami adopsi kelak karena semuanya dilandasi pada hubungan saling menghormati. Ya individualisme bisa membawaku ke bentuk-bentuk penghargaan, penghormatan dan kebebasan. Aku memandang rumah-rumah itu lagi. Orang-orang didalamnya. Kebebasan untuk menjalani keakuan dan penghormatan kepada keakuan orang lain. Dilihat dari penghormatan inilah bisa jadi sumber-sumber harus digunakan untuk kebaikan bersama. Yang tadinya egoisme etis bisa berubah menjadi utilitarianisme dan prinsip ekonomi menjadi egaliter. Dan ada masa ketika manusia hidup sejahtera tanpa ikatan aturan otoritatif dengan kemapanan pribadi dan penghormatan manusia sebagai landasannya. Sesuatu yang aneh dan sulit untuk diterima nalar tetapi aku tidak menampik begitu saja jika ada arah ke sana, betapa pun jauhnya. "Ah..." tidak sadar aku mendesah.

“Ada apa?” tanya Ayahku heran.

“Tidak ada apa-apa Ayah.”

“Tentang Dewi?”

“Bukan.”

Ayah kemudian melihat lukisanku, dengan heran dia bertanya, "Kenapa pohon itu tampak tumbuh sendiri, terpisah dengan yang lain? Bukankah itu keliru?"

Aku heran dan sejenak tidak bisa menjawab.

“Itu keliru. Pohon itu seharusnya tumbuh dengan pohon-pohon lain. Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi pohon itu harus menunjukkan karakter, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menjadi jati dirinya." jelas Ayah.

Aku hanya menundukkan kepalaku. Sejenak tiba-tiba aku ingat namaku dan tidak bisa kutahan hati ini untuk bertanya, “Yah?….Ayah pasti punya alasan mengapa namaku Jhoni Kusumadewa."

“Alasan…alasan apa? tidak ada. Aku pikir itu keren. Itu saja.” kata ayahku sambil tersenyum simpul.

Januari 2014

Paham eksistensialisme seperti menjadi perwakilan paham individualisme dalam filsafat kontemporer. Paham eksistensialisme sendiri sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya ada nama Soren Kierkegaard atau jauh sebelumnya dalam peradaban Islam ada nama Mulla Sadra. Tetapi tidak ada sekiranya yang sepopuler dan sekontroversial Jean Paul Sartre, yang lebih dikenal sebagai seorang filsuf dari Perancis meskipun berkiprah juga dalam bidang penulisan novel, penulisan naskah film, penulis drama, dan politik. Dia mendapatkan penghargaan Nobel untuk Kesusastraan pada tahun 1964 tetapi dia menolaknya. Dalam tulisannya yang terkenal "Existentialism is humanism dia menyampaikan tiga emosi eksistensial: anguish, forlornness dan despair. Anguish adalah beban yang ditanggung manusia "yang melibatkan dirinya dan menyadari bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang dia harus pertimbangkan, tetapi juga pembuat keputusan yang harus mempertimbangkan juga kemanusiaan selain dirinya sendiri. Yang kedua Folornness menurut Sartre adalah tekanan yang dia rasa karena Tuhan tidak ada (dalam pandangan Sartre yang atheis) maka kemungkinan nilai-nilai yang ada karena adanya Tuhan ikut hilang bersamaan dengan hilangnya Tuhan sehingga manusia merasa kesepian tetapi dari kesepian ini manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap. Yang ketiga despair adalah sikap yang tidak menggantungkan diri pada orang lain untuk segala sesuatu. Pandangan Sartre bukanlah tanpa kritik. Beberapa filsuf berpendapat pandangan Sartre saling bertolak belakang. Kadang Sartre membuat argumentasi metafisik sedangkan di lain waktu dia menyampaikan pandangan yang mengabaikan pentingnya metafisik. Sartre juga dikritik karena justru menyuntikkan kegelisahan dan ketidakadaartian dalam pandangan eksistensi itu sendiri. Pandangan politiknya juga dikritik karena dianggap pembiaran terhadap rezim tirani penguasa. Dia meninggal di Paris karena penyakit paru-paru. Prosesi pemakamannya diperkirakan dihadiri oleh 15.000 sampai lebih 50.000 orang.

Selain eksistensialisme, individualisme juga melahirkan aliran-aliran paham yang dalam perkembangannya justru mengarah ke perbedaan. Libertarianisme sebagai turunan dari paham individualisme sering dipahami sebagai pandangan moral bahwa manusia sebagai agen memiliki kepemilikan sepenuhnya terhadap dirinya sendiri dan memiliki kekuatan moral untuk memperoleh hak-hak properti dari sumber-sumber luar. Seiring berjalannya perkembangan libertarianisme, paham ini dibagi menjadi dua: Libertarianisme Kanan dan Libertarianisme kiri. Libertarianisme kanan berpendapat bahwa sumber daya harus diperuntukkan untuk orang pertama yang menemukannya, mengupayakannya supaya muncul atau sekedar mengklaimnya tanpa mempertimbangkan pihak lain dan jika ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pihak lain seharusnya kecil atau tidak sama sekali. Sebaliknya, libertarianisme kiri berpendapat bahwa sumber daya alam milik semua orang dalam bentuk egalitarian sehingga pihak yang mengklaim hak terhadap sumber daya ini harus memberikan pembayaran kepada orang lain untuk mengganti hak-hak mereka. Hal ini kemudian menjadi dasar konsep redistribusi egalitarian. Sehingga sangat disayangkan jika selalu menilai konsep individualisme itu selalu berhubungan dengan konsep paham kanan.

Freedom is what you do with what's been done to you (Jean Paul Sartre).

Art is the most intense mode of individualism that the world has known (Oscar Wilde).

Catatan: Nama dan karakter diatas fiktif semata. Jika ada kesamaan pasti bukan karena kesengajaan. Dalam penulisannya penulis berusaha tetap obyektif dan tidak konklusif untuk memunculkan ruang refleksi dari tujuan penulis yang hanya semata-mata menghadirkan konsep-konsep yang ada dalam individualisme. Jika ada kekurangan dan hal-hal yang tidak pas, semata-mata disebabkan oleh keterbatasan pemahaman penulis. Kritik dan saran konstruktif jelas mendapatkan apresiasi dari penulis. Semoga bermanfaat. Salam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline