Ingat pernah duduk bersebelahan dengan beberapa orang yang “kemungkinan besar” berprofesi sebagai guru. Dari obrolan mereka saya menduga mereka baru saja menghadiri sebuah seminar (waktu itu era ketika seminar-seminar pendidikan laku dijual karena salah satu syarat sertifikasi guru adalah mencantumkan bukti-bukti keikutsertaan dalam seminar, sesuatu yang memprihatinkan dari hal-hal memprihatinkan yang muncul dari program sertifikasi guru yang kemudian akhirnya dievaluasi oleh kementerian pendidikan). Entah mengapa topik obrolan mereka tentang seminar akhirnya bergeser ke topik tentang murid-murid mereka. Salah satu orang yang dari awal memang bercerita dengan antusias tiba-tiba berteriak “Kalau tentang murid itu sih aku sudah nyerah memang anaknya bodoh dari sananya!” Ucapannya itu disambut tertawa teman-temannya. Sejenak perhatianku fokus pada ucapan itu. Sejenak aku hanya diam saja dan memperhatikan bahwa hal itu seakan topik ringan saja bagi mereka. Jujur miris melihat mereka tertawa.
Sering kita mendengar kata bodoh dan menganggap bahwa kata itu memang menjadi bagian melekat dari pendidikan. Ada yang pintar dan pasti ada yang bodoh. Seperti ada yang kaya dan pasti ada yang miskin. Mindset dualitas ini seakan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kultur pendidikan kita. Menjadi sesuatu yang alami. Menjadi sesuatu yang kebenarannya sudah hakiki. Dan ketika kebenaran sudah dianggap sebagai sesuatu yang intrinsic atau inherent, maka tidak ada alternatif lain. Sayang sekali jika memang tidak ada alternatif lain karena pelabelan siswa seperti itu akan mengakibatkan efek yang laur biasa merusaknya baik pada diri siswa yang terkena label, pendidik yang memiliki mindset memberikan label, masyarakat yang membenarkan pelabelan itu, dan pendidikan nasional untuk skala luasnya.
Dalam artikel-artikel ilmiah pendidikan, terutama pada artikel-artikel dalam bahasa Inggris, tidak pernah saya jumpai kata stupid sebagai kata sifat yang artinya bodoh atau stupidity sebagai kata benda turunannya. Sejauh pengetahuan saya, kata atau frase yang sering digunakan untuk menjelaskan kondisi siswa seperti ini adalah lack of motivation atau unmotivated yang dihubungkan erat dengan masalah motivasi.
Pentingkah mempermasalahkan diksi ini? Sangat penting karena berhubungan dengan mindset dan landasan struktur kerangka berpikir. Analogi sederhananya adalah jika pondasi rumah tidak kuat maka rumah akan cenderung mudah roboh ketika ada goncangan. Sesederhana itu.
Perbedaannya adalah ketika seseorang (apalagi jika orang itu seorang pendidik) menggunakan kata bodoh, maka arah pola pikirnya bisa menuju ke jalan buntu dimana tidak ada peluang atau kemungkinan lain untuk mengembangkan kemampuan kognitif peserta didik. Dari sisi pendidiknya sendiri terbuka peluang luas untuk “menyerah” melalui klaim bahwa persoalan kemampuan kognitif tersebut sudah final. Pendidik merasa tidak perlu bersusah payah mendorong terciptanya kondisi pembelajaran yang ideal untuk mengembangkan kemampuan kognitif, karena ketidakmampuan itu sudah melekat pada diri si peserta didik. Tanggungjawab pendidik pun menjadi tanggungjawab subyektif dan alat ukurnya pun menjadi subyektif. Ketika seorang pendidik dihadapkan pada kasus “kebodohan instrinsik” maka ada ruang subyektif untuk melepaskan tanggungjawab karena sifat melekat kebodohan yang sudah hakiki pada peserta didik dan menutup ruang refleksi diri.
Menggunakan kata tidak termotivasi atau kurangnya motivasi, di sisi lain, adalah bentuk terbukanya peluang dan kesempatan luas untuk mengembangkan kemampuan kognitif peserta didik melalui berbagai metode pembelajaran alternatif dan penciptaan lingkungan belajar yang kondusif. Tidak ada ruang untuk kata “menyerah” bagi seorang pendidik jika dihadapkan pada kasus kurangnya atau rendahnya motivasi. Seorang pendidik akan melakukan tindakan aktif untuk mencari sebab rendahnya atau lemahnya motivasi tersebut. Pendidik akan memposisikan dirinya sebagai agen perubahan sosial yang sadar akan tanggungjawabnya untuk merubah motivasi peserta didik melalui upaya-upaya baik subyektif dan obyektif. Upaya subyektifnya akan ditekankan pada penelusuran sumber-sumber persoalan kurangnya motivasi dari dalam dirinya yang akan bermuara pada peningkatan kemampuan dan kompetensi dalam metode penyampaian materi pelajaran dan upaya obyektifnya akan ditekankan pada telaah media-media pengajaran yang ada dan kurikulum yang diterapkan sehingga bisa menjadi kekuatan kritis untuk pengembangan pendidikan dalam wilayah kebijakan.
Dari hal sederhana pemilihan diksi” “bodoh” atau “tidak termotivasi” bisa muncul efek yang cukup signifikan dalam praktek riil pembelajaran itu sendiri. Dan selama kemampuan kognitif peserta didik tidak dikategorikan sebagai abnormal karena faktor-faktor fisiologis bawaan atau non bawaan, tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanya murid tidak termotivasi dan murid bodoh hanyalah hasil “rekaan” guru saja.
Semoga kedepan pendidikan Indonesia menjadi lebih baik melalui peningkatan sumber daya pendidiknya salah satunya melalui perubahan atau revolusi mindset pendidik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H