Lihat ke Halaman Asli

Kolom Agama KTP dan Sekularisme Di Simpang Jalan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa waktu belakangan ini polemik penghapusan kolom agama di KTP atau upaya merubah tata cara pengisiannya untuk mengakomodasi hak warga menjadi isu hangat yang tidak luput dari sorotan media baik media konvensional atau media online. Sebenarnya persoalan seperti ini tidaklah aneh dan lazim ditemui dalam atmosfer demokrasi yang memanjakan warga Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Jika disederhanakan inti persoalannya adalah apakah sekularisme sudah pantas untuk mendapatkan pengakuan legal dan artikel ringkas ini akan bergerak di wilayah ini.

Sekularisme adalah pemisahan institusi pemerintah dari agama atau orang-orang yang mendapatkan tugas mewakili negara dari institusi dan lembaga ulama. Sebenarnya ide sekularisme jauh berasal dari Yunani kuno tetapi kata sekularisme sendiri dibuat oleh penulis Inggris, George Jacob Holyoake pada tahun 1851. Dia sendiri adalah seorang agnostik dan dalam pernyataannya dia menyebutkan bahwa sekularisme sendiri tidak menentang Kristen (agama) dan berdiri bebas dari agama(1).

Dari dasar negara dan undang-undang, Indonesia bukanlah negara agama dan oleh sebab itu negara menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga Indonesia(2). Sila pertama Pancasila sendiri pun berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa menyebut elemen agama tertentu terlepas dari perdebatan apakah “Yang Maha Esa” disini lebih mewakili rumpun agama tertentu atau tidak.

Tetapi di sisi lain sila pertama Pancasila menampilkan pesan jelas bahwa Indonesia sebagai negara tidak bisa lepas dari agama atau bisa dikatakan disini bahwa negara Indonesia bukan negara agama (tertentu) tetapi negara beragama atau berketuhanan. Di sinilah penerapan sekularisme berada di simpang jalan yang berujung pada polemik terkait legalitasnya.

Dilihat dari perspektif sejarah, para pendiri bangsa ini tampaknya sadar bahwa negara Indonesia dengan intensitas heteregonitasnya yang tinggi tidak mungkin menjadi negara agama atau sadar akan bahaya disintegrasi bangsa jika konsep negara agama dipaksakan dalam dasar negara. Akan tetapi konsep negara dan pemerintahannya yang benar-benar lepas dari agama terlalu beresiko untuk dipertahankan keutuhannya juga karena kerentanan penerimaan dari organisasi-organisasi agama utama yang dukungannya sangat dibutuhkan selama masa awal berdirinya negara ini. Dari sini terlihat ada upaya untuk mencari jalan tengah yang diwujudkan dalam sila pertama.(3)

Seiring berjalannya sejarah, organisasi-organisasi agama utama yang pada masa awal berdirinya negara ini berpartisipasi langsung dan aktif dalam pemerintahan mulai menarik diri dan memposisikan diri mereka di luar pemerintahan meskipun beberapa partai politik yang dipersepsikan berafiliasi secara sosial dan kultur dengan mereka tetap aktif dalam perebutan kekuasaan pemerintahan, terutama selama era reformasi. Apakah ini adalah sebuah tanda proses sekularisasi politik secara suka rela adalah pertanyaan tersendiri yang menarik untuk ditelaah lebih jauh.

Penentang proses sekularisasi suka rela ini tentu saja akan mempertanyakan kesukarelaan ini dan memunculkan istilah sekularisasi setengah hati dengan bukti masih dipertahankannya kementerian agama yang masih memiliki otoritas untuk menetapkan persoalan-persoalan relijius dengan membuat keputusan yang sayangnya masih mempertahankan kewajiban untuk “memihak” ke salah satu organisasi agama meskipun diperlunak dengan pernyataan “saling menghormati”.(4) Sekularisme yang seakan-akan sudah bergerak menuju ke legalitasnya ternyata masih berada di simpang jalan.

Pengakuan negara terhadap enam agama resmi yang diwujudkan dalam keharusan mengisi kolom agama KTP menjadi bukti lain sekularisme yang setengah hati. Skeptis dalam wilayah politik akan mempertanyakan korelasi implementatif antara jaminan kebebasan beragama dengan praktik pengisian kolom agama KTP yang harus diisi dengan salah satu agama resmi tersebut.

Kondisi ini juga memunculkan pertanyaan filosofis apakah pemerintahan yang menyebut dirinya demokratis memiliki hak untuk mendefinisikan mana yang agama dan mana yang keyakinan atau aliran kepercayaan. Seorang filosof idealistik subyektif(5) akan mempertanyakan dasar filosofi pembedaan tersebut. Bukankah agama adalah sama dengan keyakinan karena ruangnya adalah persepsi subyektif kecuali jika sebuah entitas yang disebut agama bisa memberikan kebenaran obyektif yang jauh lebih kuat dari entitas yang disebut keyakinan atau aliran kepercayaan. Persoalannya adalah dari mana kebenaran obyektif ini berasal dan dinilai validitasnya. Jika berasal dari kekuatan organisasi dan lembaga relijius serta efek dari penerapan kekuatan organisasional tersebut, setidaknya ada dua kelompok yang akan menyangkal. Skeptis akan menyangkal pernyataan itu karena jika itu benar maka pencarian kebenaran akan berhenti karena kebenaran, terutama kebenaran relijius yang metafisik, bisa dirumuskan menjadi rumusan yang obyektif dan universal, sesuatu yang sulit dimengerti bagi skeptis. Sedangkan idealis subyektif tentu saja akan menyangkal hal tersebut karena tidak ada yang benar-benar obyektif per se.

Sebagai penutup sekularisme setengah hati akan terus menumbuhkan polemik berkepanjangan terkait hubungan negara dan agama. Sebagai negara demokrasi sulitlah untuk mewujudkan tatanan sipil yang demokratis tanpa menerapkan sekularisme, setidaknya soft secularism (6) dimana masih ada ruang untuk saling menghormati antara pengetahuan empiris materialistis yang disematkan pada tata pemerintahan dengan keyakinan agama serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti biasanya artikel ringkas diatas membutuhkan penelusuran lebih jauh baik dalam wilayah tata pemerintahan untuk mewujudkan demokrasi dan wilayah filsafat.

Keterangan:

(1) Definisi sekularisme dan riwayat singkat sejarahnya. Sumber: Wikipedia.

(2) Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Membutuhkan penelusuran tersendiri dan pembahasan lebih jauh.

(4) Salah satu kasusnya adalah penetapan hari raya agama tertentu.

(5) Idealistik subyektif berasal dari idealisme subyektif atau disebut juga idealisme empiris yaitu doktrin metafisik monistik yang menekankan hanya pikiran dan konten mental saja yang benar-benar ada.

(6) Dalam soft secularism masih terbuka wilayah untuk skeptisisme dan toleransi untuk membahas hubungan pengetahuan yang membutuhkan obyektifitas dengan agama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline