Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Sebagai "Tukang Masak" (Sebuah Pelecehan?)

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1416020192641454125

[caption id="attachment_375569" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Ketika membaca salah satu media online pagi ini, ada berita yang menarik. Dalam berita itu disebutkan bahwa sebuah surat kabar lokal di Australia menampilkan Jokowi, Presiden RI, sebagai “tukang masak” dalam pesta barbecue atau dalam bahasa Inggris disebut dengan grill master. Bapak Jokowi memang sedang berkunjung ke Australia untuk mengikuti pertemuan G20, sebuah pertemuan forum ekonomi. Pertemuan ini tampaknya mendapatkan sambutan yang cukup hangat dari publik Australia dan tentu saja tidak ketinggalan media lokal disana. Dan tentu saja ilustrasi “nakal” yang dipasang di salah satu surat kabar lokal ternama disana menunjukkan antusiasme publik Australia menyambut pertemuan ini. (Selengkapnya baca di sini)

Yang tidak kalah menariknya adalah bagian komentar yang membahas berita tersebut. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa ilustrasi itu menghina presiden Indonesia karena menampilkan gambar bapak Jokowi yang sedang gembira memasak untuk kepala-kepala negara lainnya yang tampak menikmati pesta dengan riang gembira pula. Pembahasan artikel singkat ini lebih bergerak di seputar komentar pembaca sebagai fenomena sosial dengan pendekatan fenomenologi sosial. Dan karena alasan itu lah artikel ini penulis masukkan dalam kolom filsafat, bukan politik.

Banyak celotehan komentar mengatakan bahwa ilustrasi sebagai juru masak yang melayani orang lain yang hadir di pesta adalah bentuk pelecehan karena melayani disini diartikan kurang lebih sama dengan kata pelayan yang sayangnya dalam kultur hirarki profesi orang Indonesia menempati posisi bawah. Dan tentu saja topik pembahasannya mulai disangkut-pautkan dengan isu “tunduk” pada kepentingan asing yang menggoyang Bapak Jokowi selama kampanye pemilihan presiden.

Tetapi tidak sedikit yang menyampaikan fakta lain bahwa pesta barbecue adalah kegiatan sosial dimana posisi juru masak atau grill master di pesta barbecue di kultur barat tidak bisa disamakan dengan juru masak di pesta-pesta di kultur orang Indonesia yang tidak begitu atau sama sekali tidak mengenal pesta barbecue. Dalam sebuah kegiatan sosial seperti pesta barbecue, biasanya juru masak adalah tuan rumah atau orang lain yang posisinya sama terhormatnya dengan orang lain. Selain itu beberapa pembaca juga mengatakan pendapat yang sedikit melenceng dari topik berita terkait posisi profesi juru masak di kultur barat yang dianggap sama terhormatnya dengan profesi-profesi lain dengan bukti pendapatan finansial juru masak di kultur barat yang lumayan besar.

Sebagai fenomena, sebuah entitas memang tidak bisa lepas dari hubungan kausalitas, (dalam konteks ini kausalitas historis dan sosial) yang membentuk latar belakang fenomena tersebut. Karena yang ditangkap disini adalah fenomena maka tentu saja kecukupan informasi penting untuk memberikan penilaian subyektif yang pantas. Apakah latar belakang historis dan sosial individu yang mencoba menangkap fenomena memberikan pengaruh penting terhadap proses penilaian fenomena? Tentu saja iya. Tentu saja muncul antitesis sebagai bentuk kultur dan kondisi sosial yang berbeda, sebuah perbedaan sebagai wujud eksistensi entitas masyarakat dan nilai-nilai bermasyarakat yang dianutnya. Pandangan Hegellian menyebut pentingnya sintesis untuk mencapai titik temu dan disinilah kecukupan informasi memiliki posisi penting dalam menciptakan sintesis untuk memahami arti apa sebenarnya yang terkandung dalam sebuah fenomena.

Pihak yang menentang pentingnya sintesis memiliki argumentasi yang cukup kuat yaitu bahwa eksistensi tidak membutuhkan sintesis karena keotentikan eksistensi juga tidak kalah penting untuk mempertahankan eksistensi dan menganggap sintesis hanya akan berujung pada terbentuknya nilai moral obyektif yang berasal dari kekuatan yang mendominasi. Terbentuknya nilai moral obyektif harus muncul karena kesadaran subyektif bukan paksaan dalam bentuk intervensi represif sosial.

Terkait keberatan tersebut, untuk konteks ini perlu dicermati target pembaca surat kabar tersebut. Jika targetnya adalah publik lokal dengan kultur berbeda, sulit ditemui letak intervensi represif nilai moral. Persoalannya adalah kemajuan informasi yang seakan-akan menghapuskan batas-batas bangsa danpenyampaian fenomena yang menampilkan ilustrasi kultur lokal terasa dan dianggap sebagai intervensi represif terhadap nilai moral si penerima fenomena. Dan kembali lagi bahwa kecukupan informasi penting dalam melakukan penilaian subyektif dan menempatkan fenomena tepat pada posisinya.

Sebagai penutup, dengan tetap mempertahankan keterbukaan terhadap argumentasi penentang konsep sintesis dan tetap menjaga tujuan penulisan artikel ini sebagai artikel filsafat yang tidak memiliki konten intervensi represif dan tetap bersifat dialektik, mungkin link ini memberikan gambaran lain tentang presiden sebagai juru masak dalam pesta barbecue, sebuah fenomena yang memang cukup aneh bagi individu dengan kultur yang berbeda.  http://news.yahoo.com/presidential-grill-masters-120000391.html

(maaf tidak menampilkan gambar karena keterbatasan waktu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline