Lihat ke Halaman Asli

Tentang Dua Belas Warna

Diperbarui: 29 Juli 2016   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : http://blog.djarumbeasiswaplus.org

*dimuat di Flores Sastra edisi 15 Juli 2016

Aku tidak tahu mengapa duniamu bisa punya lebih dari dua belas warna, Bujang. Mengapa dapat merupa sedemikian jamak? Apakah mereka ada di kehidupanku selama ini, namun terlewat saat menghitungnya? Atau katakanlah karena aku yang hanya lulusan sekolah dasar, tak lancar bacaan doa, dan lancar hitung sebatas jari namun tak pandai bagi dan kali. Sehingga, tak pandai pula aku membedakan mana-mana yang halal untuk kumasukkan, kulepaskan, sampai dilipatgandakan jumlahnya dalam kehidupan ini.

teori tentang dua belas warna itu hanya kukenali dari warna yang berjejer pada kotak kelir semasa sekolah dulu, yang sama rendah kualitasnya dengan kertas gambar wadah aku menggoreskannya. Memang, warna-warna muram itu lah yang mewujudkan imajinasi diniku tentang hidup yang dilayani dalam istana bak seorang puteri, mimpi-mimpi yang mengejawantahkan isi kepala anak usia tujuh yang sesungguhnya bingung membedakan mana nyata mana fiksi. Nyatanya, menjadi dewasa mengajarkanku untuk memahami bahwa kehidupan hanya memiliki warna-warna yang sangat terbatas.

Dunia sudah mengalami perubahan seperti kita. Atau duniakah yang mengubah kita? Kita tak lagi hidup dalam otak anak-anak yang hanya paham dua belas warna. Duniaku dan duniamu sangat berbeda. Sehingga terang saja, mana paham aku dengan teori majemukmu itu. Duniaku adalah dunia yang tak terbayangkan hanya dengan menutup mata. Sebuah dunia yang ekor kunang-kunang dikalahkan oleh lampu-lampu pesta. Dunia yang mengejar kata megah. Dunia yang hanya akrab pada dua warna dimana akan terpilih warna penentu akhir saat aku meniadakan satu di antara mereka. Inilah dunia yang aku tinggali dan tak dapat kutinggal lari lagi, Bujang, dimana putih ada, namun hitamlah yang mendominasi.

******

Sebagai manusia yang jauh dari kata simpati, tujuh tahun aku hidup sebagai budaknya lelaki. Aku tak berani meminta mati. Meminta mati hanya untuk orang-orang buta yang tidak memiliki warna dalam hatinya, atau orang-orang serakah yang memilih mengawinkan kedua warna itu karena tak mau memilih; mereka terjebak dalam abu-abu yang salah. Sementara aku masih memiliki kesempatan. Mataku masih sehat meski kesalahanlah yang sudah kubuat karenanya.

Aku kira hitam yang baik dipilih, namun aku tersadar begitu putih masih bisa berbisik kecil. Aku menyadari keberadaannya ketika melayani seorang pejabat eselon puncak, sejatinya pemegang amanah rakyat, namun pengerat seperti mereka yang melarat. Saat usai kami menyatu dalam hangat, kecapaian mengarungi permainan dengan nafas yang terburu-buru, dalam kata ia membangun dinding keakuannya, “Hei, manis, bayangkan, mengapa anak pemulung tak pakai baju? Karena mereka rendah! Kau pun sama telanjangnya dengan mereka. Kalau tanpa uangku, kau persis bangkai mati hanya karena terinjak paku!”

Munafik. Padahal anjing itu lah yang mengulangi bangkai; anjing itu suka bangkai tak pakai baju.

Entah sejak kapan aku memikirkan tentang harga diri, sampai ketika mendengar rayuan menjijikan itu terasa sangkak bulu romaku. Aku mengatakan lebih baik ia berhenti menjadi pelanggan dan tak usah lagi bersua. Kuajukan alasan tentang kekalahannya di ranjang dengan seorang pelanggan yang lebih hebat, lebih kuat, dan lebih berpangkat (yang tentu saja tak punya martabat karena di mata malaikat dan kelak gegap suara para pelayat, timbangan kirinya tetaplah paling berat!). Aku macam terbangun dari tidur panjang karena keracunan bisa; jiwaku kerontang tak bersisa. Aku tak ingin terlalu akrab lagi, pada hitam pekat yang moksa dalam kehidupanku!

*****

Katanya ia hanya butuh pemuas rasa, ia akan bayar berapa. Kurasa, kepalaku terbentur saat melakukan permainan, sehingga besaran uang itu tak ada artinya sama sekali. Aku tak sudi menerimanya. Mendapati aku yang keras ingin dan meludahi lembar-lembar mata uang, ia pun mengambil hakku dalam memilih. Bayangkan, Bujang. Memilih. Aku bahkan belum tuntas memilih warnaku sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline