Lihat ke Halaman Asli

Gempa!

Diperbarui: 4 Juli 2016   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Belum rampung menangkap arsian, Suwardi membuka matanya lagi. Rautnya celingak celingukan kali ini. Ini lebih ganjil dibanding ketika ia telentang-telungkup-telentang, memikirkan masalah asmara sebelum jatuh tertidur. Bagaimana tidak. Semula badan cungkringnya bergetar pelan, kemudian volumenya makin lepas dan besar (semisal menyanyi, tentu Suwardi akan punya vibrasi paling ngeri). Nyala dalam sentir timbul tenggelam. Apinya meliuk-liuk mengikuti irama. Grrrrr....

Gempa!

Ini terasa di mana-mana. Tidak hanya mengguncang ranjang, bahkan gegarnya terdengar di setiap sudut rumah; pintu lemari membuka-tutup, kursi kayu jatuh melintang, segala bingkai di dinding kompak berayun ke dua arah; melintang berlawanan. Hunian Suwardi macam berada di tengah arus sungai yang siap menenggelamkan. Ini membuat Suwardi menegakkan tulang punggung tanpa embel mengumpulkan nyawa. Ia sadar huniannya bukan kapal dari jenis kayu unglen; kokoh dan tahan lama, melainkan dari selembar kertas tipis yang sekali ciprak air langsung jadi bubur.

Ia berprasangka, seorang raksasa sedang mengayun-ngayun anak dalam gendongan. Saking bahagianya, sikunya membentur dinding kulit bumi berkali-kali. Atau dalam prasangka yang lebih sentimental jangan-jangan anak raksasa itu sudah besar dan nakal. Sekarang ia tengah mengintip dari lubang perut bumi, menemukan sebuah sarang, lantas menciptakan kegaduhan dengan melompat-lompat. Apa pun yang dilakukan untuk menunaikan omongan induknya bahwa di kerak bumi ada jangkrik yang bisa diadu bernama Suwardi.

Ah! Tapi tak mungkin. Suwardi itu kan manusia, dan manusia itu masih terbengong-bengong menatap refleksi pada cermin gantung yang ikut bergoyang-goyang! Gggrrrrr....ia hampir terjengkang dari ranjang. Untung kedua tangannya refleks mencengkram kasur. Namun kali ini bukan hanya kebingungan, gigi-gigi depan yang menghitam dan keropos akibat tembakau itu akhirnya menggerutup karena ketakutan.

Tanpa basa-basi, Suwardi bangkit dan menyeimbangkan badan. Sebelah tangan ia pegangkan pada dinding kayu menuju pintu, sebelahnya lagi melindungi kepala. Bisa muncrat isinya misal tertimpa balok induk dan pembagi dari langit-langit rumah, pikirnya. Suwardi merupa cecak yang pintar melata. Sesekali mungkin ia adalah manusia, karena menggunakan otak dan memikirkan hal masuk akal misalnya mempercepat langkah.

Mulutnya temat-temut membaca entah; mungkin menyumpahi tangan yang tak bisa berbohong. Setelah berhadapan dengan pintu, tangan itu malah sebeku batu! Kelima jarinya bahkan tak mampu memutar kunci yang tergantung di situ. Ia memutar-mutar paksa. Akhirnya bukannya terbuka, kunci itu malah terlepas dan terpelanting ke bawah meja.

Bersyukurlah Suwardi karena ternyata masih diberi keselamatan. Gempa berhenti, -usai Suwardi berlutut, merayau dengan tangan satu dan menemukan kunci bertipe double cylinder itu telah berselimut debu-, ia terduduk. Badannya basah pelu. Antara percaya tak percaya. Hati yang sebelum tidur amat gelisah kini tambah kelesah; Dari balik daun telinga, ia bahkan dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

Hening kembali. Kejadian barusan macam pengguna jalan yang numpang lewat saja! Namun dalam kelegaannya, Suwardi bertanya-tanya mengapa tak mendengar suara gaduh manusia lainnya. Sambil menyimpan jangan-jangan, ia membuka pintu dan mendongak ke rumah tetangga berjarak sekian meter. Dibiarkannya dingin menusuk tulang, meski kulit setipis kertas dan dekat dengan penyakit itu sudah dibalut dengan baju berlapis dua.

Suwardi, lelaki patah hati yang baru ditinggal kawin kekasihnya ini mendongak ke arah jarum jam di dalam rumah. Pukul satu lewat dua delapan. Demi pemenuhan kebutuhan, listrik yang biasanya diperoleh dari mesin genset di kampung ini memang hanya bertahan pukul sepuluh malam. Namun misal ada kejadian, tentu akan ada cahaya dan keributan, bukan? Hanya cahaya bulan yang remang, setia melingkupi kampung -pemukiman yang didominasi buruh pemetik teh keturunan jawa, dan kerap meramah tamahi para pendaki Gunung Dempo ini. Suwardi gelisah. Ia menduga akan ada gempa susulan. Nah, pikirnya, ia tak akan bisa tidur ini malam.

*****

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline