Mode yang cepat berganti, membuat fenomena fast fashion semakin marak. Akibatnya, limbah fashion pun menumpuk. Penelitian dari Fibre2Fashion, pada tahun 2020 saja, sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir yang kemudian berakhir di laut. Rata-rata, konsumen juga membuang 60% pakaiannya hanya setahun setelah membeli. Jika hal ini terus berlanjut, maka pada tahun 2050, limbah tekstil di seluruh dunia akan mencapai 300 juta. Sungguh hal yang mengerikan bila dibiarkan terus menerus.
Seiring dengan meningkatnya gaya hidup ramah lingkungan, produk sustainable fashion pun mulai dilirik. Sustainable fashion ini menjadi solusi untuk mengurangi limbah fashion yang jumlahnya semakin hari semakin menjadi.
Semangat ini pula yang melandasi Alfira Oktaviani, seorang mompreneur dari Yogyakarta. Kecintaan pada fashion, budaya, dan lingkungan, mendorongnya membuat Semilir Ecoprint, brand sustainable fashion dengan kearifan lokal Indonesia.
Limbah Fashion di Indonesia
Limbah fashion seringkali dilupakan. Padahal, limbah ini jumlahnya cepat menumpuk, lho. Fenomena fast fashion membuat limbah fashion menjadi limbah terbesar kedua di dunia. Ada 92 juta ton sampah tekstil tersebut diproduksi setiap tahunnya. Limbah fesyen yang dibuang begitu saja ke lautan dapat menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara itu menyebabkan banyak ikan dan biota laut lainnya terkena mikroplastik.
Mikroplastik tersebut bisa termakan oleh manusia secara tidak sengaja karena kita ikut mengkonsumsi biota laut yang sudah tercemar itu.
Tidak hanya di lautan, pencemaran udara karena limbah tekstil tersebut juga terjadi di lingkungan terdekat kita.
Studi yang dilakukan oleh Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari lalu, menemukan sebanyak 70 persen bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester. Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan industri fashion di kawasan tersebut.
Kandungan mikroplastik mengancam kehidupan biota di Daerah Aliran Sungai Citarum. Kerusakan yang terjadi berupa kecacatan hingga kematian ikan dan kerang di Sungai Citarum. Selain itu, penggunaan air Sungai Citarum untuk mandi dan mencuci baju oleh warga sekitar juga berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.
Penelitian yang dilakukan YouGov mencatat bahwa 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dan 25% membuang lebih dari 10 pakaian mereka dalam setahun. Belum lagi, 41% millenial Indonesia menjadi konsumen produk fast fashion terbesar. Tidak heran jika pada tahun 2018 komunitas Zero Waste Indonesia menemukan bahwa limbah tekstil di laut Indonesia jumlahnya lebih banyak dari sampah plastik, yaitu 80% dari total sampah yang dikumpulkan. Majalah National Geographic, Maret 2020: The End of The Trash juga mencatat bahwa dari 57% sampah yang ada di Jakarta, sekitar 8,2% merupakan limbah tekstil.
Limbah fashion di Indonesia tentu tidak hanya datang dari konsumen, tapi juga produsen. Sebagai salah satu industri terbesar di negara ini, fashion menyumbang gas emisi dan polusi air terbesar kedua setelah industrii minyak dalam produksinya. Nexus3Foundation bahkan mencatat ada 1.000 pabrik garmen yang membuang berbagai bahan kimia beracun dari hasil produksinya ke Sungai Citarum.
Beralih ke Sustainable Fashion
Limbah fashion ini menjadi tanggung jawab bersama, tak hanya mendorong produsen mengelola limbahnya dengan bijak, tetapi juga butuh partisipasi dari konsumen.