Lihat ke Halaman Asli

Dian Savitri

Seorang pengajar dan perantau

Salahkah Jika Seorang Perempuan Berdaya?

Diperbarui: 5 November 2019   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

fimela.com

Hastag layang putus menjadi viral beberapa hari ini. Bahkan masih menjadi hastag populer di twitter sampai sekarang. Saya tidak akan membahas cerita yang tengah viral ini. Saya lebih tertarik pada peran wanita yang secara tidak langsung harus berdaya di segala aspek.

Sebagian masyarakat, biasanya di pedesaan, masih memandang sebelah mata pada seorang wanita yang memilih berkarir. Bagi mereka, urusan perempuan setelah menikah lebih baik di rumah mengurus suami dan anak. Jikapun mereka ingin menambah penghasilan, maka dilakukan di rumah saja. Sebab ketika seorang wanita memilih bekerja di luar, maka konsekuensi meninggalkan keluarga di sau waktu adalah sebuah kewajiban tak terelakkan.

Ketika saya memutuskan untuk berkarir, dengan penuh kesadaran saya pahami segala risiko yang harus dihadapi ke depannya. Namun jauh sebelum itu saya memang fokus untuk menjadi seorang wanita yang berdikar, mandiri dan berdaya. Bahkan sejak duduk di bangku kuliah, saya membayangkan bagaimana jika suatu saat setelah menikah, saya harus hidup sendiri karena suami meninggal. 

Bagaimana dengan kehidupan saya setelah itu? Pun demikian dengan kehidupan anak-anak saya? Parahnya lagi, sempat berpikir, apa yang terjadi ketika suami yang saya pilih meninggalkan saya karena orang lain.

Melihat kasus yang sedang ramai dibicarakan banyak orang serta banyak kasus seperti itu di tengah masyarakat, saya pikir keputusan untuk menjadi seorang pekerja adalah pilihan tepat. Bagi saya, bekerja bukan hanya mencari uang, tetapi juga pengembangan kualitas diri. Di lingkungan kerja, kita dapat bersosialisasi dengan banyak orang. Mereka memiliki beragam sifat dan karakter yang secara tidak langsung menjadi pembelajaran bagi diri kita. 

Kemudian, ketika seorang wanita berdaya dengan dirinya, dia akan terbiasa mengatasi masalah dengan kepala dingin. Bukan tidak mungkin pasangan kita meninggalkan suatu hari nanti. Entah karena telah habis masa di dunia ataupun pergi untuk memilih orang lain. Kondisinya akan berbeda ketika seorang wanita sudah berdaya, baik dari sisi ekonomi maupun kedewasaan diri. 

Banyak dari ibu-ibu yang ditinggal pasangannya menjadi hilang arah, anak-anak tidak diperhatikan karena memang tidak sanggup berpikir jernih. Belum lagi dengan istri yang ditinggalkan karena pasangannya selingkuh. Nafkah kepada anak-anak diputus, sementara sang ibu emosi. Setiap hari hanya meratapi hidupnya dan anak-anak terlantar. Jangankan berpikir maju ke depan, setiap detik ia hanya memikirkan kondisi keuangan pasca ditinggal suami.

Pernah saya melontarkan sebuah pertanyaan kepada pasangan ketika kita sedang membicarakan perihal pernikahan. Kami menjalin hubungan lebih dari 5 tahun. Iseng saya bertanya tentang apakah dia memiliki niat untuk berpoligami. Responnya? Dia tertawa keras dan menjawab iya. Entah jawaban itu palsu atau tidak, saya tidak peduli. Toh, saya sudah mulai memberdayakan diri. Konyol, bukan?

Harapan saya bagi semua kaum perempuan yang membaca tulisan ini, berdayakan diri. Tidak ada salahnya  menjadi wanita yang kuat dan mandiri, asal memahami peran seorang istri. 

Menjadi berdaya bukan berarti berkuasa di atas laki-laki. Seseorang laki-laki yang memahami pasti akan senang jika pasangannya mampu memberdayakan diri. Terlebih lagi menebar manfaat ke sesama. 

Begitu pula dengan pasangan saya, tak pernah mempermasalahkan pekerjaan yang saya pilih. Sebab sedari awal saya sudah bertekad akan bekerja, jika kamu ingin memiliki pasangan yang tidak bekerja, menikahlah dengan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline