Lihat ke Halaman Asli

Dian Savitri

Seorang pengajar dan perantau

Sekolah di Mana Pun ‘Sama’

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, entah ia berada di pusat kota ataupun di desa. Akan mudah bagi masyarakat kota untuk menjamah berbagai fasilitas pendidikan. Namun bagaimana dengan masyarakat desa? Terlebih lagi bagi mereka yang tinggal di pelosok daerah. Akses jalan masih buruk, bukan aspal mulus layaknya kota – kota besar. Dan keadaan seperti ini masih terjadi di Negara Republik Indonesia.

Adalah sebuah kampung di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Orang menyebutnya kampung Wolobheto, masih termasuk dalam wilayah administratifDesa Kebesani, Kecamatan Detukeli. Diperlukan 3 jam perjalanan dari pusat kota Ende untuk menuju ke tempat ini menggunakan bis kayu atau biasa disebut oto. Belum terlihat tiang listrik di pinggir jalan. Ya, Detukeli merupakan satu – satunya kecamatan di kota lahirnya Pancasila ini yang belum teraliri listrik Negara. Sehingga masyarakat umum sering memandang rendah penduduk di sini. Padahal kenyataannya tidak. Di sini terdapat belasan Sekolah Dasar (SD), dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sekolah Menengah Kejuruan ini dibangun di Wolobheto dan merupakan sekolah negeri, SMK Negeri 6 Ende. Kompetensi keahlian sekolah ini yaitu Agribisnis Holtikultura dan Tanaman Pangan. Melihat lingkungan sekitar sangat cocok dijadikan lahan pertanian. Masyarakat sekitar banyak menanam pohon kemiri, kopi serta berbagai sayur. Dari sinilah beberapa orang berinisiatif membangun sebuah sekolah kejuruan negeri.

Pendirian sebuah sekolah di daerah pedalaman bukan perihal mudah. Apalagi fasilitas kurang memadai dan akses jalan yang buruk. Belum lagi kepercayaan masyarakat terhadap sekolah ini ke depannya. Terhitung sejak Juli 2013, sekolah ini baru berusia sembilan bulan. Selama itu pula berbagai gejolak selalu muncul di tengah masyarakat. Mungkin memang inilah ciri khas orang Indonesia, terbiasa melihat dari satu sisi saja.

Harus menjadi sebuah kewajiban bagi Pemerintah untuk membuat warganya mendapat hak – hak pendidikan. Salah satunya dengan mendirikan sekolah hingga ke daerah pedalaman. Namun kenyataannya masyarakatlah yang mampu mendirikan. Mereka adalah orang lapangan sesungguhnya dan mereka yang mampu membuat analisa kebutuhan bagi kehidupan mereka sendiri. Apabila di daerah mereka terdapat sebuah sekolah, sudah pasti hal tersebut akan mempermudah anak – anak belajar.



Paradigma Masyarakat ‘Sok Tahu’

Mungkin hanya sedikit orang yang memahami standar proses pendidikan formal. Karena muncul sebuah pemikiran bahwa sekolah di kota menjadi lebih pintar. Kenyataannya tidak, berkembangnya seorang anak didik dipengaruhi berbagai faktor internal dan eksternal, salah satunya dari dalam diri anak sendiri. Pintar tidaknya bersekolah di kota terdapat pada satu fakta, bahwa fasilitas lebih memadai daripada sekolah di desa.

Sayangnya bukan masyarakat umum saja untuk berfikir sedemikian rupa. Beberapa oknum pemerintah yang bahkan bekerja di bagian pendidikan pun berfikir seperti itu. Niat baik masyarakat untuk mendirikan sebuah sekolah hanya diabaikan, diacuhkan dan dianggap isapan jempol. Padahal keinginan mereka adalah memudahkan anak – anak untuk belajar lebih dekat. Tidak perlu jauh – jauh ke kota, terlebih bagi mereka yang berlatar belakang ekonomi rendah.

Tampaknya bukan hanya anak didik yang butuh pendidikan. Masyarakat ‘sok tahu’ juga perlu mendapat pendidikan. Jangan kira ruang lingkup pendidikan hanya belajar berbagai mata pelajaran. Justru pendidikan karakter menjadi kunci utama seseorang dianggap ‘berpendidikan’. Sepintar apapun seorang anak tanpa budi pekerti, ia hanya menjadi makanan lezat namun beracun.

Sekali lagi, sekolah di manapun sama saja. Proses yang dijalankan pun mengikuti aturan pemerintah. Perbedaan utama sekolah di kota dan di desa terletak pada fasilitas di sekolah. Buktinya tidak semua lulusan sarjana dari perguruan tinggi kenamaan memiliki output tinggi. Dan tidak semua orang pintar mampu mentransfer ilmunya 100% kepada anak didiknya. Sekolah adalah sebuah proses. Proses untuk mendapatkan pendidikan. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara merumuskan pendidikan sebagai alat untuk mengajarkan budi pekerti. Hakikat pendidikan sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.

Semoga bermanfaat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline