Badai menggila. Angin mengamuk menghempaskan pepohonan hingga mabuk. Beberapa tumbang. Serumpun batang pisang tercerabut dari tanah. Seharusnya langit yang menggeram marah itu menyiutkan nyalinya. Lebih baik dia meringkuk di dipan kayu berkasur tipisnya. Hujan sebesar butiran jagung menimpa tubuh ringkihnya. Sementara sehelai daun pisang jadi tudungnya sekedar menutup kepala yang sia-sia. Kadang langit menggelegar setelah kilat menyambar-nyambar. Dia menggigil. Keinginan juga ketakutan. Demikiankah larikan cemeti api sang malaikat malik? Dia meneguhkan niatnya. Dia pantang berbalik. Jari-jari kakinya yang liat kokoh mencengkeram tanah yang berlumpur. Jalan setapak itu terasa sangat jauh dan panjang. Dia sedang berburu dengan waktu. Dan dari kesamaran warna malam nan pekat dia melihat bangunan kecil itu. Beratap rumbia dan berdinding bilah-bilah papan. Keropos disana-sini. Lelaki itu bersorak dalam hati. Dia belum terlambat, tubuhnya bergetar hebat. Buku jarinya tergesah mengetuk pintu gubuk itu. Berkali-kali dengan irama yang menggambarkan ketergesaannya. Tugasnya belum selesai. Berkali-kali dia mengetuk tidak ada balasan dari dalam. Hanya gemuruh hujan, deru angin dan riuh pepohonan yang menjawab. "Mak...! Mak Soleh!" berkali-kali dia memanggil, berkali-kali dia mengetuk, hatinya bertambah resah, dia harus berpacu, jangan sampai terlambat. "Maaak.....Maaak Soleeeh...!" buku jarinya sudah terkelupas. Tuhan tolonglah aku, berkali-kali dia menggumamkan doa. Tok, tok, tok! Tok! Tok! Tok..! "Yaa sebentar...!" terdengar jawaban dari dalam, serak dan mengantuk. Bunyi sandal yang diseret tak seimbang. Laki-laki itu sangat lega. Belum pernah ia mengalami kelegaan yang sedemikian nikmat. Tiba-tiba pintu terkuak. Sinar lampu minyak dari dalam menyambar wajahnya yang pias basah. Diselanya seorang wanita renta dengan kerudung yang terpana sekenanya, menatap bertanya. "Ada apa buyung? sapa mak Soleh datar. Agaknya dia memang sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang mengejutkan yang terjadi ditengah malam buta. "Istri saya mau melahirkan mak. Tolonglah mak Soleh, dia saya tinggal sendirian dirumah. Tadi ketubannya sudah pecah saya tidak tahu keadaannya sepeninggal saya," ujarnya tergesah-gesah. "Ayo, buyung, jangan biarkan istrimu sendirian terlalu lama," kata mak Soleh. Dia segera mengambil perkakasnya dan memakai tudung rumbianya. Langkahnya sigap mengikuti langkah lelaki didepannya. Sesekali nyala senter menyayat kegelapan. Hujan mulai berganti gerimis lebat. Badai mereda. Namun sesekali angin kencang bertiup menggigit tulang. Dua sosok itu berjalan dalam diam. *** Sementara itu tidak jauh dari mereka, sekelompok orang berjalan beramai-ramai menuju gubuk tempat mak Soleh tinggal. Kematian Marajo beberapa waktu lalu membuat kemarahan mereka menuju ke dukun beranak itu. "Penyakitnya sangat aneh begitu. Tidak ada dokter yang bisa menyembuhkannya. Tanya apa lagi? kalau bukan perbuatan dukun hitam?" "Mungkin seseorang yang membenci Marajo menyuruh dukun itu membuat penyalitnya," balas yang lain. "Dukun beranak hanya kedoknya saja, ilmu lainnya mana kita tahu?" timpal yang yang lainnya lagi dengan berapi-api. Kemarahan penduduk menemukan muaranya. Mereka sepakat melenyapkan mak Soleh, meski tanpa pembuktian kebenarannya. *** "Masih jauh rumah kau buyung?" tanya mak Soleh menghancurkan pikirannya. "Sebentar lagi, sudah dekat...di seberang sungai itu," jawabnya tergagap-gagap. Didepan mereka terbentang sungai yang meluap arus deras. Sesekali tampak hanyutan batang-batang pohon hitam. "Wah, jembatannya terbawa arus. Mak tunggu disini aku mencari jembatan lain," katanya. Diapun meninggalkan perempuantua itu. Lantas dia berlari sekencang-kencangnya. Tujuannya cuma satu. Ikut bergabung dengan penduduk kampung mengepung rumah mak Soleh. Benar saja, ketika dia sampai, tampak puluhan obor menerangi gubuk itu. Cahayanya meliuk-liuk membentuk bayangan panjang menari-nari. Dan acungan puluhan senjata tajam. "Mak..! Mak Soleh..! keluar..!" seru seseorang yang berdiri paling depan. Tidak ada respon dari dalam. Yang lain pun ikut berteriak memanggil mak Soleh dengan garang. "Kita bakar saja gubuknya, biar dia mati terpangganggang bersama ilmu hitamnya," teriak yang lain. Dan seperti di komando, obor-obor itu melesat membakar rumah gubuk yang renta tak berdaya menghadapi hukum alam. Api pun menyala membungbung ke angkasa pertanda fitnah telah membunuh mak Soleh. Perlahan kerumunan penduduk kampung meninggalkan halaman gubuk itu. Dia paling belakangan melangkah pergi. Tangannya meraba lehernya, ada tanda biru selingkar lehernya, yang dia bawa semenjak lahir. Dan selalu saja ia teringat cerita ibunya. "Kau nyaris mati tercekik oleh tali lilitan pusatmu sendiri ketika lahir. Untung pertolongan Alloh datang melalui tangan mak Soleh." Dan sekarang dia meninggalkan perempuan, dukun beranak itu sendirian di tepi sungai. Didengarnya suara azan subuh mengiringi desau daun bumbu di sepanjang langkahnya. @@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H