Lihat ke Halaman Asli

Menjemput Kematian

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13657758411078358772

Hujan deras pagi ini. Tubuhku masih terdiam kaku dipinggir jurang tempat kubulatkan rencanaku semalam, ya inilah saat yang tepat. Kuingat kembali wajah-wajah yang akan segera kutinggalkan, wajah ayah, ibu, dan kedua adikku. Satu persatu seolah memandangiku dengan tatapan nanar. Sudut mataku menangkap sesosok tubuh yang tersuruk-suruk menerobos semak-semak yang memagari jalan setapak dari puncak tebing. Kedua tangannya terulur ke depan seperti mencari pegangan. Lalu tiba-tiba aku sadar, ia buta. Sedang apa orang buta disitu pagi-pagi begini? "Hei.." panggilku. "Jangan kesana!" Ia berhenti dan berbalik. Dugaanku benar. Ia buta. Kedua matanya tertutup, dengan kelopak yang sedikit tenggelam ke dalam rongga matanya, seperti tidak ada lagi disana sepasang bola mata. "Siapa itu?" hardiknya. "Jangan kesitu, Dik,"ulangku. Sepertinya ia masih lebih muda dariku. "Licin, Nanti kau bisa terpeleset jatuh ke jurang." "Siapa kau!" tuntutnya lagi. "Orang lewat," sahutku, sedikit tersinggung dengan ketus suaranya. "Jangan sok mengatur!" bentaknya lagi. "Terserah kalau kau memang mau mati," aku mulai tidak menyukai lagaknya. Orang mau menolong kok malah dibentak-bentak. "Ya!" katanya tiba-tiba. "Aku memang mau mati! Jadi jangan ganggu aku!" Aku tersentak, tertegun. Bunuh diri? ia mau bunuh diri? Apa yang membawa orang buta itu kesini, mempertemukanku dengannya pada saat saat tergenting dalam hidupnya? dan hidupku. Ia berbalik memunggungiku. Dari belakang, dengan kemejanya basa kuyup diguyur hujan melekat ketubuhnya, ia kelihatan sangat kurus dan mengibakan. "Kalau boleh aku tahu kenapa kau mau bunuh diri?" Ia membungkuk dan mulai terisak. "Karena aku buta." Kalimat singkat itu menamparku. Mengejekku. Lelaki didepanku ini ingin mati karena ia cacat. "Lalu kenapa?" ketidak acuhan dalam suaraku hanya sandiwara. Dalam hati ada tsunami yang memporak-porandakan semua logika yang sudah kubangun lapis demi lapis. "Lalu kenapa," ulangnya mengolok. "Aku buta. Tidak punya masa depan, tidak punya harapan. Aku hanya akan merepotkan kedua orang tuaku. Aku tidak akan bisa mengurus diriku sendiri, apalagi orang lain nanti." Rasanya seperti mendengar suaraku sendiri. Hanya saja, itu keluar dari mulut lelaki itu, yang kupikirkan hanyalah betapa remehnya alasan itu, betapa absurd dan konyolnya. "Sejak kapan kau buta?" lanjutku, berharap percakapan akan mengalihkan perhatiannya dari pusaran yang pasti sedang berkecamuk dihatinya seperti yang kualami. Pusaran yang tanpa ampun mengisap semua cahaya hingga tinggal gelap, yang menghilangkan semua tujuan kecuali satu, mati. "Tiga bulan." "Kecelakaan?" "Ya, mobil yang yang kutumpangi menghantam pohon, dan dokter terpaksa membuang mataku karena terlalu banyak serpihan kaca disitu." Datar, pahit,suaranya seperti gema dari kemarahanku sendiri. Pada sopir mengantuk yang menghantam mobil yang kutumpangi. "Tapi masih banyak yang bisa kau lakukan kan," kata-kata itu seperti menikamku sendiri dngan ironi. Betapa banyak orang yang telah mengatakan hal yang sama kepadaku. "Jadi tukang pijit dan pengamen," sahutnya masam. "Aku ini rongsokan," simpulnya. "Dan rongsokan hanya pantas dibuang. Percuma saja memelihara rongsokan seperti aku." Ia kembali terisak. Perlahan-lahan tubuhnya rebah ketanah yang becek dan ia terkulai berbaring, bahunya naik turun dihentakkan tangisnya, air mataku ikut meleleh, tercampur air hujan yang merembes turun dari anak-anak rambut yang melekat didahiku. Tiba-tiba lelaki itu bangkit dan lari kebelakang tebing. "Jangaaaannn!" teriakku. Kuberlari mencoba mendekati lelaki itu. "Pergi!" teriaknya. "Biarkan aku mati! pergi!" "Jangan egois!" bentakku gugup. "Pikirkan ibumu, ayahmu, saudaramu! Mereka akan sangat kecewa karena kau menyerah!" Ia tergugu, tangisnya mulai semakin keras. "Hidupmu bukan milikmu sendiri,"lanjutku dengan suara gemetar, bukan karena dingin, tapi aku mengucapkan sesuatu yang masih goyah kuyakini. Bagaimana aku bisa menolong orang yang akan tenggelam kalau kapalku sendiri masih koyak layarnya. "Hidupmu juga milik orang disekitarmu. Milik...Tuhan," seperti air nama itu muncul dari mulutku sebelum sempat maknanya menyerap dibenakku sendiri. "Kau sudah siap menghadap Tuhan? Kau sudah siap bertanggungjawab atas hidupmu selama ini?" Tubuhku rasanya berguncang. Kata-kata itu seperti air bah yang menyeruak di dalam tubuhku, meluluhlantakkanku. Siapkah aku? Oh Tuhan...belum! Aku tidak siap untuk mati! Lelaki itu tertunduk, tubuhnya mengguncang keras. Namun kini emosinya sudah terkendali. Entahlah, mungkin tekadnya untuk mati pagi ini mulai goyah. Seperti juga tekadku pagi ini, aku masih bisa menuntun lelaki ini untuk kembali menuruni tebing tanpa perlawanan lagi, meski dia tak pernah tahu, tanganku yang satu takkan pernah bisa menuntunnya karena amputasi dua bulan lalu. Sinar mentari kembali terang, hujan mulai reda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline