Lihat ke Halaman Asli

Menikah itu Bunuh Diri

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogja, 30 Desember 2013

Sehari menjelang akhir tahun 2013, saya menyempatkan pergi ke Jogja sebelum kembali ke Kaimana karena mau menengok sahabat saya yang habis "kesripahan" beberapa waktu lalu. Jam 07.45 pagi saya sudah menanti taxi di jalan Solo - depan bioskop XXI. Jalanan tampak masih lengang, mungkin karena masih pagi, menunggu taxipun agak sulit, telepon ke agen taxi juga full booking semua. Tadinya sempat kepikir naik Trans Jogja saja karena di seberang Giant ada halte Trans, tapi rumah sahabat saya jauh dari jangkauan Trans Jogja, jadilah saya bersabar menunggu taxi yang kosong.

30 menit menunggu taxi yang kosongpun tiba, langsung saya sebutkan tujuan ke sopir taxi sembari saya sampaikan betapa sulitnya pagi itu menunggu taxi. Jawaban pak sopir hanya "Maklum mbak, liburan jadi banyak yang penuh". Okelah, yang penting saya dapat taxi dan bisa pergi ke rumah sahabat saya. Di dalam taxi, pak sopir ga banyak bicara jadi sayapun agak sungkan mengajak ngobrol. Hanya ketika kami melewati Malioboro yang pagi - pagi tampak ramai itu tiba - tiba pak sopir membuka pembicaraan mengenai betapa ramainya Jogja saat liburan. Dia menunjuk orang - orang yang "sliwar sliwer" nyebrang sesuka hati, juga pasangan - pasangan yang berlibur sambil bergandengan dan keluarga yang tampak kompak berjalan dengan baju yang bercorak sama. Keluarga bahagia kata pak sopir, sayapun mengiyakan sambil tersenyum simpul.

Setelah mengomentari pasangan keluarga itu tiba - tiba pak sopir berbicara "Tapi mbak, menikah itu bunuh diri lo." Sayapun kaget mendengarnya! "Kok bunuh diri Pak? Lah masih hidup gitu kok?" Dan mulailah petuah singkat terdengar dari pak sopir

Menikah itu bunuh diri mbak, coba kalau sudah suami istri yang dipikir itu bukan cuma diri sendiri. Istri kalau mau ambil keputusan mau kesana sini musti bilang suami dulu - musti ijin suami dulu. Suami juga sama, mau ambil keputusan harus bicara dengan istri dulu soalnya yang dipikir sekarang sudah bukan saya tapi kita. Keputusan berdua. Nek egois repot mba. Ndak bisa!

Sekarang mbaknya kalau belum nikah, mau kerja kesana sini jalan jalan kesana sini kan ga perlu ijin dulu. Nda usah mikir duitnya cukup apa enggak. Tinggal jalan aja, dinikmati. Seneng. Lah nek udah menikah ndak bisa gitu mbak.

Belum nanti kalau punya anak, biasane ibu - ibu beli lipstik yang mahal mahal, beli sepatu tas ndak pake mikir harga, sekarang mikir nek beli yang mahal anakku bisa nyusu apa engga. Lah yo bunuh diri mbak. Dirinya harus dimatikan, biar bisa hidup bersama bahagia. Udah ndak bisa egois egoisan mbak, bisa rusak rumah tangganya.

Mbak'e belum merasakan sekarang, tapi besok kalau udah merasain bakal inget saya mbak - sopir taxi yang dulu pernah ngantar pas di Jogja mbak.


Setelah ucapannya yang panjang, sopir taxipun terdiam mengantarkan saya sampai tujuan. Tidak lagi bercerita panjang lebar maupun berbincang lagi. Sayapun terdiam, memikirkan rencana hari itu, bukan saya bukan berpikir kata - kata sopir itu, saya masih berpikir rencana saya hari itu yang memang sangat padat serta membayangkan serunya akan bertemu sahabat saya karena lama tidak berjumpa. Tapi malam ini - 6 Januari 2014, tiba - tiba saya diingatkan kejadian itu.

Sudah siap untuk bunuh diri to?

.cuthel.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline