Lihat ke Halaman Asli

Habis Asap Tinggal Penderitaan Tanpa Tanggungjawab

Diperbarui: 19 November 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebakaran hutan yang terjadi selama tiga bulan di sumatara, kalimantan sulawasi dan papua memang telah berlalu, tetapi habis asap tinggallah penderitaan tampa tanggungjawab pemerintah terhadap dampak yang ditimbulkannya bagi mereka yang menderita kerugian ekonomi, pendidikan, sosial, lingkungan dan pastinya kerugaian terbesarnya adalah  kerugian waktu yang hidup terisolasi dalam lingkungan yang menyesakkkan oleh kabut asap.

Dalam undang-undang no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 2 poin a bahwa pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas tanggung jawab negara, dan pada pasal tiga poin b disebutkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh masyarakat yang telah terpapar kabut asap wajib meminta pertanggungjawaban pemerintah karena telah dirampasnyya hak-hak warga masyarakat yang jumlahnya jutaan jiwa yang hidup dalam lingkungan tidak sehat karena kabut asap.

Alasan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah bukanlah untuk melawan pemerintah, tetapi masyarakat hanya menginginkan rasa keadilan atas penderitaan yang telah dialami selama kabut asap terjadi, tetapi harapan masyarakat ini bagaikan istialah anjing menggonggong kafilah berlalu, buktinya sampai saat ini upaya menghitung kerugian akibat kabut asap saja tidak dilakukan, pada hal berdasarkan Peraturan mentri lingkungan hidup nomor 7 tahun 2014 tentang kerugian linkungan hidup akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup pada pasal  dua ayat satu dan dua menyatakan pedoman penghitungan kerugian lingkungan hidup dan melakukan penghitungan besarnya kerugian lingkungan hidup, tapi faktanya sampai saat ini kementrian lingkungan hidup tidak pernah menghitung kerugian masyarakat akibat kabut asap yang menyesakkkan selama tiga bulan, ini membuktikan kementrian lingkungan hidup tidak ada tangungjawabnya terhadap peraturan yang mereka buat sendiri, alasannya mungkin bencana sudah berlalu jadi tidak perlu dilakukan penghitungan kerugian dan tanggungjawab kepada masyarakat terkena kabut asap kebakaran hutan.

Jika kementrian lingkungan hidup dan pemerintah masih merasa bencana asap usai dan semuanya baik-baik saja, maka mereka telah salah, karena pada  pasal 3 tujuan undang-undang no 32 poin a sampai poin g sangat jelas bahwa seluruh hak jutaan masyarakat terkena kabut asap kebakaran hutan telah dirampas oleh pemerintah dengan tidak mematuhi kewajibannya dan dapat melakukan pertanggungjawaban pemerintah melalui class action dan menuntut ganti rugi.

Jujur saja hidup dalam lingkungan yang berasap sangatlah menyakitkan, bukan hanya pada manusia bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan juga sesak dengan udara yang penuh dengan partikel debu yang menyebabkan lingkungan berasap seperti bencana gunung meletus, jika gunung meletus akibat faktor alam, maka asap kebakaran akibat kelalaian pemerintah yang selalu terlambat mencegah terjadi kebakaran dan berlagak pahlawan saat kebakaran dengan menangkap masyarakat petani dan beberapa kariawan rendahan perusahaan perkebunan sebagai tersangka penyebab kebakaran.

pertanyaannya adalah apakah kementrian lingkungan hidup tidak bersalah ? bukannya semua izin perkebunan didapatkan dari kementrian lingkungan hidup, dan pastinya kementrian lingkungan hidup sebelum memberikan izin usaha perkebunan melakukan riset amdal yang dilakukan secara objektif dan profesional sehingga dampak terkecil sekalipun terjadinya kebakaran dapat diprediksi dan dicegah, tapi mengapa  kebakaran terus berlanjut dan semakin parah setiap tahun. Alangkah baiknya kementrian lingkungan hidup dan pemerintah instropeksi diri, apakah pekerjaan yang dilakukan kementriannya sudah benar, dan pantas menyalahkan pihak lain seperti masyarakat dan pengusaha perkebunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline