Lihat ke Halaman Asli

Dedy Gunawan

Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Sonya Depari Butuh Didampingi

Diperbarui: 19 Mei 2016   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sonya Depari didaulat sebagai duta antinarkoba oleh gereja-gereja reformis di lapangan Benteng Medan, tempo hari. Foto oleh Dedy Hutajulu

Tak cukup hanya niat baik. Perlu ada usaha nyata yang teragenda dan professional untuk menyelamatkan masa depan seorang anak

***

OLOK-olok masih kentara tatkala gereja reformis mendaulat Sonya Depari, si gadis ‘tukang tandai orang’ itu menjadi duta anti narkoba, tempo hari. Seakan hukuman sosial (berupa cercaan, makian dan meme)yang digencarkan media dan netizen untuk membully alumnus SMA Methodist 1 Hang Tuah, Medan belum cukup. Padahal, kita sama-sama tahu, ayahnya sampai meninggal dunia akibat terkena serangan jantung gara-gara pemberitaan.

Kita seperti orang yang tak mengenal kata ampun. Hanya gara-gara ia pernah melabrak Ipda Panjaitan yang menilangnya saat merayakan berakhirnya Ujian Nasional. Kita seperti tak sudi melihat gadis remaja kelahiran 17 April 1999 itu berubah. Seakan pintu kesempatan kita tutup rapat buatnya. Sebagian dari kita masih saja mencibirnya seraya berteriak: “Sungguh tidak layak!” Kita lupa, pesan Oscar Wilde: “Setiap orang suci punya masa lalu, setiap pendosa punya masa depan.”

Saya melihat, apa yang dilakukan gereja-gereja reformis ini bagus. Bahwa orang bersalah bahkan penjahat sekalipun layak mendapat kesempatan kedua untuk berubah. Tak terkecuali Sonya. Jika gereja saja mau memberinya, kita pun perlu mendukungnya.

Kita harus pahami, bahwa kejahatan dan kenakalan itu dua hal berbeda. Dan kasus Sonya hanya seputar kenakalan biasa. Kita harus pahami posisi dia waktu itu. Bisa Anda bayangkan, jika Anda sebagai orangtua. Anak Anda begitu bangga terhadap paman yang berpangkat jenderal. Tidakkah itu wajar? Kesalahannya hanya sederhana, Sonya, mungkin jarang diberi peran dan tanggung jawab sebagai seorang yang harus menjaga imej atau citra baik.

Sebenarnya, kalau kita pahami, menjadi duta antinarkoba itu justru hal berat bagi Sonya. Tetapi kesempatan ini menjadi starting point yang bagus baginya. Tetapi agar ia sukses melakoni perannya itu, ia perlu dididik dengan tepat, diberi pengetahuan yang lengkap tentang narkoba dan bahayanya. Ia juga perlu difasilitasi bagaimana berbicara kepada publik, bagaimana menghadapi media. Karena itu, ia perlu didampingi oleh tim profesional. Kalau dia hanya ditunjuk sebagai duta anti narkoba, tanpa pernah diberi pelatihan dan bimbingan, sama saja kita melemparkannya hadapan publik untuk kembali diolok-olok. Kasihan sekali bukan?

Sayangnya, tim pendamping itu sama sekali tidak ada. Menurut saya, niat saja tidak cukup. Sebab hal itu tidak akan membawa  dampak positif bagi Sonya. Perlu ada pendidikan, pelatihan dan pendampingan, supaya Sonya memiliki keterampilan dan pengalaman, mulai dari menjaga penampilannya di depan publik, melatih gesture tubuh, gaya bicara, diksi serta strategi menghadapi media. Jika ada tim, dia bisa diikutkan kursus kepribadian, kemudian dikirim  ke berbagai pusat pelatihan tentang seni berbicara (public speaking), atau dibiasakan bertemu dan berdiskusi dnegan media. 

Ia perlu diajari tentang pendekatan-pendekan yang tepat. Sehingga ketika ia tampil di hadapan khalayak sebagai duta antinarkoba, ia mampu menghubungkan materi yang dibawanya terhadap diri dan pengalaman pribadinya. Bahwa ia pernah mengalami masa-masa suram nan pahit, atau perilakunya yang tidak menyenangkan akan menjadi gambaran, bagaimana kejamnya publik menghukum para pengguna narkoba lewat bullying dan meme. Dengan begitu ia akan mudah diterima publik kembali. Jika tidak, ia terus akan jadi korban.

Sayangnya gereja reformis hanya main tunjuk saja. Seharusnya, gereja jangan bergerak sampai di titik itu saja. Gereja perlu berkarya lebih jauh sehingga Sonya mampu membangun kembali kepercayaan dirinya. Gereja harus paham bahwa publik kuatir jika Sonya diberi kesempatan sebagai duta, ia berpotensi menjadi lebih sombong dan arogan. Meski kita sadari bahwa kesombongannya sebenarnya sudah habis. Sudah dikali nol. Bahkan matipun rasanya mungkin dia rela.

Bayangkan jika ia bicara kepada para pengguna narkoba dengan kata-kata, “Kutandai kau, kutandai kau”. Lalu para pecandu itu bukannya tergugah, melainkan makin mengolok-oloknya bahkan melabelinya sebagai remaja sok dan tak tau diri. Karena itu, ia perlu dididik bagaimana bebicara kepada publik. Bagaimana menggagas pesan yang baik dan daya gugah. Pelatihan yang bisa dilakukan tentu dengan pendekatan psikologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline