Lihat ke Halaman Asli

Dedy Gunawan

Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

ABK Geluti Modelling

Diperbarui: 18 Desember 2015   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ABK: Mitty Shella Ardhani (18), seorang tuna rungu putri dari pasangan Suheri (51) dan Wiwik Erianti (45). Mitty meraih banyak penghargaan dalam dunia tari dan modelling. Foto: oleh Dedy Hutajulu"][/caption]TUBUHNYA yang ramping, melenggak-lenggok di atas pentas. Indah dan memukau. Kakinya yang jenjang bersijinjit sedang tangannya membentuk segitiga  dengan cawan-cawan putih tetap tenang. Mitty Shella Ardhani (18), tampil penuh percaya diri membawakan tortor (tarian Batak) di hadapan ribuan peserta seminar di Aula Asrama Haji Medan. Musik Btaka mengalun deganbeat kuat. Begitu musik tuntas, tempik sorak menggema di aula tersebut. 

Mitty telah berhasil memukau semua hadirin, dengan kelincahannya, kepiawaiannya menari. Sebagai anak tuna rungu yang tak bisa mendengar, siapa yang tak kagum atas kehebatan Mitty menari sesuai irama dan tempo musik?

Putri sulung dari pasangan Suheri (51) dan Wiwik Erianti (45) itu, telah berlatih sangat gigih sebelum tampil di panggung. Ia tak hanya belajar memahami jenis tarian, tetapi juga menguasai setiap kode ekspresi tangan dan mimik yang diajarkan gurunya, Sity Maryam, instruktur tarinya.

Gadis pemalu ini memang sudah lama menggandrungi seni tari dan dunia modelling. Kecintaan itu muncul sejak ia bertemu Maryam, gurunya, yang menurut Mitty, sangat memahami kebutuhan para ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Dan Keterampilan Mitty dalam modelling telah membawanya wara-wiri di tanah air. Ia mengoleksi banyak penghargaan. Teranyar, ia menyabet juara 2 menari tingkat nasional dan juara 1 modelling tingkat nasional bagi kalangan ABK.

"Saya pengen kuliah di tata rias," katanya terbata-bata. Demikian harapan itu dilontarkannya saat diwawancarai di aula Asrama Haji Pangkalan Masyhur, Jalan Abdul Haris Nasution, Medan, tempo hari, usai penampilannya pada seminar pembudayaan pendidikan inklusif di Indonesia yang digelar Dinas pendidikan provinsi Sumut bekerjasama dengan USAID PRIORITAS dan Turun Tangan Medan.

Wiwik, ibunya mengaku tantangan terbesar mendidik Mitty adalah kesabaran dan komitmen mendukung penuh keinginan anaknya untuk bersekolah dan berkarya. "Saya selalu mendukungnya sepenuh hati," ujarnya. Sebagai orangtua dari anak berkebutuhan khusus, Wiwik mengaku tak pernah malu punya anak ABK. Ia selalu membawa Mitty jalan-jalan sehingga lebih banyak mengenal orang lain, terbiasa berbaur dengan banyak orang demi menumbuhkan kepercayaan diri.

Siti Maryam, gurunya menegaskan, dalam mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, tidak boleh anak diperlakukan secara terkotak-kotak atau dimarjinalkan. "ABK harus kita hargai dan perlakukan secara setara. Kita juga sebaiknya membiasakan mereka mandiri, jangan dikasihani," katanya.

Menurut Rektor Unimed, Prof. Dr. Syawal Gultom perlu usaha besar untuk mendorong semua pihak terlibat dan berkomitmen mendukung ABK. Selain itu, perlu ada dukungan regulasi yang kuat dari pemerintah. Tak kalah penting, mempersiapkan keterampilan guru pendamping khusus ABK baik dalam kompetensi mendidik, desain pembelajaran di kelas maupun pendekatan serta media belajar yang digunakan.

Dukungan dari kementerian Pendidikan RI kini mulai besar. Dr Sanusi, M.Pd dari Kementerian Pendidikan mengatakan, pemerintah pusat kini memberikan kemudahan-kemudahan bagi ABK untuk mengakses layanan pendidikan bermutu. Selain itu, kemendikbud juga mendukung penuh Sumut menjadi provinsi yang inklusi. Kini ada 633 sekolah di 33 provinsi di Sumut siap menyelenggarakan pendidikan inklusif. Badan Pusat Statistik melansir. ada 285.982 Anak Berkebutuhan Khusus, dari 2.859.824 total anak usia sekolah di Sumatera Utara. Angka ini merujuk asumsi PBB yang menyebut setidaknya 10 persen dari jumlah anak usia sekolah (5-14 tahun) adalah penyandang kebutuhan khusus. Dan dari jumlah tersebut hanya 0.00018 persen yang dapat mengakses pendidikan ke Sekolah Dasar (SD) dan 0,00012 persen ke SMP.

[caption caption="Mitty saat modelling di Medan. Foto Oleh Dedy Hutajulu"]

[/caption]Sanusi mengimbau agar setiap sekolah mulai dari tingkat SD hingga SMA harus siap menerima anak-anak berkebutuhan khusus. "Ke depan melalui kepala dinas pendidikan, jika ada prajabatan, guru-guru akan diberi pelatihan dan pembekalan terkait layanan pendidikan khusus. Namun yang terpenting, peran serta masyarakat. Jika ada anaknya yang ABK, segera didaftarkan ke sekolah," katanya.

Selain bahu-membahu dan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak, ada faktor lain yang tak kalah penting. Menurut Dr Musjafak Assjari dari UPI Bandung, untuk memberikan layanan pendidikan secara optimal bagi ABK, perlu ada keyakinan yang kuat dipegang semua pihka, bhawa pendidikan inklusif adalah alternatif terbaik. "Pemberian layanan pendidikan harus didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan inklusif salah satu alternatif terbaik dalam membantu tergalinya kreativitas anak," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline