Lihat ke Halaman Asli

Dedy Gunawan

Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Prematur Nilai Jokowi-JK Buruk

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428486329825046

[caption id="attachment_377466" align="aligncenter" width="300" caption="SEMINAR tentang Prospek Kebangsaan pada Era Jokowi-JK. Foto Oleh Dedy Hutajulu"][/caption]

BUYA Ahmad Syafii Maarif, Guru Bangsa menilai keterlaluan jika sekelompok orang berniat menjatuhkan rezim Joko "Jokowi" Widodo yang baru berjalan lebih 100 hari. “Itu keterlaluan berpikir menumbangkan resim Jokowi-JK. Seratus hari terlalu prematur. Mari kita lihat sampai dua tahun. Kita sikapi dengan optimis tapi kritis,” ujarnya di Medan.

Pendiri Maarif Institute itu hadir sebagai narasumber dalam seminar nasional bertajuk “Prospek Kebangsaan Pada Era Jokowi-JK,” yang diselenggarakan Pussis (Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu  Sosial) Unimed di perpustakaan digital Unimed, Rabu (8/4). Buya Maarif mengakui rezim Jokowi memang menghadapi banyak persoalan sehingga slogan Nawacita atau Trisaktinya Soekarno yang digaungkan Jokowi-JK hampir-hampir hanya sebatas slogan.

Gambaran kondisi pemerintahan Jokowi-JK kini diwanti-wanti Buya akan sama dengan nasibnya Rezim Soekarno-Hatta yang pernah pecah kongsi. Karena itu, kata dia, saya sudah ingatkan kepada JK agar memahami kultur Jawa. Kegagalan Soekarno-Hatta, dulu adalah Hatta tidak dapat menopang Soekarno yang cerdas dan pemikir hebat. Mereka pecah karena keduanya kurang memahami kultur masing-masing. Soekarno tak paham kultur Minang, Hatta tak paham kultur Jawa. "Saya bilang JK mesti bisa menopang Jokowi. Tapi, JK yang berpikir cepat, dia menjawab,'Saya sudah baca sepuluh buku tentang kultur Jawa,'" ujar Buya.

Kehadiran Maarif sebagai narasumber menghangatkan diskusi. Banyak pertanyaan yang dialamatkan kepadanya. Belasan mahasiswa dan jua dosen mengacungkan jari untuk bertanya. Moderator, Rektor Unimed Prof. Dr. Ibnu Hajar hampir-hampir kewalahan karena waktu yang tersedia untuk diskusi amat terbatas sementara penanya banyak sekali.

Selain Buya, ada Prof. Dr. Usman Pelly, Antropolog Unimed dan Pror. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara sebagai dua narasumber tandingan. Baik Buya, Pelly maupun Nur Fhadil membawa materi dari kacamata berbeda namun dalam satu benang merah, tentang prospek kebangsaan Era Jokowi-JK.

Pelly memapar lebih mendalam tentang banyaknya persoalan krusial bangsa hari ini akibat buruknya implementais amanah konstitusi. Ia mencontohkan munculnya ketimpangan sosial luar biasa ketika 90 persen dari 750 etnik di Indonesia berada di luar Jawa. Padahal 70 persen dari 250 juta penduduk Indonesia berdesak-desakan di Jawa. Padahal luas Jawa cuma tujuh persen dari luas daratan Indonesia.

Pelly juga memaparkan, tujuh perguruan tinggi negeri dan 11 perguruan tinggi swasta berstatus “kelas dunia” (2012), semuanya di Jawa. Akibatnya orang-orang pintar, berbudaya dan berpendidikan tinggi sebagian besar dilahirkan dan dibesarkan di Jawa. Celakanya mereka hanya ingin ditempatkan ke daerah jika diposisikan sebagai bos, menteri, duta besar atau pejabat. “Ini masih Java sentris,” terangnya.

Pelly menyebut, biang daerah tak berkembang akibat pusat memelihara paradigma “Indic Cosmology”, sebuah pandangan kosmologi kerajaan Hindu-Budha di Jawa-Bali. Kosmologi ini menganut paham, jika ingin pusat (Jawa) kuat, pinggiran harus dilemahkan supaya tidak muncul pesaing dan tandingan. Akhirnya, daerah didesain agar tetap terbelakang, miskin dan bodoh.

Maka, dalam konteks perspektif kebangsaan di era Jokowi-JK, menurut Pelly, sebelas dua belas dengan pendapat Buya: sekadar slogan dan retorika. Pelly mencontohkan, suksesi kepemimpinan sama sekali tak berdampak positif bagi (kesejahteraan) daerah. Tak heran pula jika ia juga meragukan program pembangunan Maritim yang dicanangkan rezim Jokowi bisa berhasil. "Tengok Tiongkok menghasilkan 15 juta ton ikan pertahun, sedang Indonesia baru 5,6 juta ton padahal luas laut kita tiga kali lebih luas dari laut Tiongkok. Kenapa bisa? Karena Tiongkok lebih mengerti berinvestasi di proyek maritim dan lebih mengerti masa depan maritim,” ujarnya.

Melengkapi seminar tentang prospek kebangsaan tersebut, Nur Ahmad Fadhil Lubis, Rektor UIN Sumut mengulas tentang pemahaman bernegara dengan memaknai indetitas berlapis dalam konteks yang tepat. Pemahaman identitas kebangsaan, katanya, menolong kita menjadi warga negara yang baik, menjadi negarawan serta menghindari tumbuhnya paham radikal.

Rektor Unimed Prof. Dr. Ibnu Hajar mengaperasiasi seminar tersebut. Ia senang sekali karena Buya berkenan datang ke Medan dan berbagi pencerahan. "Sangat tidak mudah menghadirkan Buya Syafii Maarif ini. Ia memang guru bangsa," katanya memuji.

Ketua Panitia seminar, Dr. Phil Ichwan Azhari mengatakan, pentingnya seminar ini digelar demi menguatkan semangat nasionalisme berbangsa kini yang kian melemah. Ia memandang negara kini hadir bukan lagi sebagai perawat, pengayom dan pelindung melainkan pembunuh bangsa. Karena itu ia ragu jika ke depan, kita sebagai bangsa tak lagi bisa eksis. "Buktinya banyak situs-situs sejarah di tanah air dirusak/dimusnahkan negara. Ia mencontohkan situs sejarah seperti gedung Nasional Medan dan Lapagan Merdeka Medan dirusak atas nama negara membangun sektor ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline