Orang-orang tua di kampungku bilang, kalau mau jadi polisi atau tentara, banyak-banyaklah mengkonsumsi sinonggi. Pada saat akan tes fisik, malam sebelumnya makanlah sinonggi yang telah diembunkan. Terlepas dari resep orang-orang tua di kampungku itu tokcer atau tidak, sekarang banyak pemuda-pemuda di kampungku yang menjadi tentara atau polisi. Entah mereka memang menerapkan resep itu atau tidak, saya tidak pernah menyelidikinya. Saya lebih memilih menjadi guru karena posturku yang semampai (semeter tak sampai, hahaha....). Sinonggi adalah makanan khas yang berbahan dasar sagu, merupakan makanan khas suku Tolaki-Kendari Sulawesi Tenggara. Selain sinonggi, makanan khas nusantara berbahan dasar sagu yang telah dikenal antara papeda (Papua), kapurung (Palopo), dan kue bagea (juga dari Kendari). Sinonggi terbuat dari sagu yang disiram dengan air mendidih, terus dimakan dengan kuah ikan atau sayur, tentunya terlebih dahulu diramu dengan jeruk nipis dan lombok. Bagi kompasianer yang pernah berkunjung ke daerah itu, rasanya tak lengkap tanpa mencoba mencicipi makanan khas tersebut. Selain sebagai sumber tenaga karena mengandung kadar karbohidrat yang tinggi, sagu juga memiliki khasiat, antara lain sagu kering sebagai obat untuk kulit yang terkelupas dan sebagai obat nyeri lambung/maag. Saat bulan puasa yang lalu, saya ketemu dengan teman lama di sebuah apotek. Ia membeli begitu banyak obat pereda nyeri lambung. Ia membeli sangat banyak obat itu untuk persiapan di bulan puasa ini, karena mengeluh bahwa sejak hari pertama, fisiknya tersiksa akibat nyeri lambungnya yang akut menurut dokter dan kambuh setelah berbuka, berakibat ia hanya bisa terbaring di rumah menunggu waktu sahur berikutnya. Obat itu ia konsumsi setiap selesai sahur dan segera setelah berbuka puasa. Akhirnya saya mencoba menawarkannya untuk mengkonsumsi sinonggi segera setelah berbuka puasa, tentunya setelah membatalkan puasa dengan ‘yang manis-manis’. Singkatnya beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan teman itu. Ia langsung berterima kasih berkat resep yang saya berikan, karena sejak mengkonsumsi sinonggi sesaat setelah berbuka puasa, kini ia dapat ke mesjid lagi. Satu hal lain yang membuat takjub mengenai sagu adalah hasil penelitian seorang profesor dari Jepang (saya lupa namanya) yang pernah datang ke almamaterku untuk memberikan kuliah umum. Profesor dari Jepang itu telah meneliti tentang sagu selama kurang lebih 15 tahun. Beliau telah mencoba menanam di beberapa tempat seperti Malaysia, Mauritania, Madagaskar, bahkan sampai di bagian lain benua Afrika. Ia menemukan bahwa tumbuhan sagu semakin sukar untuk tumbuh apabila daerah tumbuhnya makin menjauhi daerah Indonesia Timur. Ada apa dengan sagu yaa..? Sekedar berbagi dan mudah-mudahan bermanfaat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H