Lihat ke Halaman Asli

Lenin dan Kebusukan

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lenin pernah bertanya kepada seorang rekannya: "Tahukah kau kebusukan terbesar?" Rekannya, Krzhizhanovsky, tak tahu. Maka jawab Lenin: "Yaitu berumur lebih dari 55 tahun."

Lenin sendiri tak sampai mencapai "kebusukan" itu. Ia mati umur 54. Tapi sesuatu yanh lebih busuk toh mulai menyeruak, beberapa saat setelah jasadnya dibalsem di musoleum: para wakilnya berebut kuasa untuk jadi orang No 1 di Uni Soviet yang baru berumur 7 tahun itu.

Persaingan bengis itu terjadi antara Zinonev, Trotsky, dan Stalin. Dalam salah satu "surat wasiat"-nya Lenin memang menyatakan bahwa "Stalin terlalu kasar," dan agar diganti dari jabatan Sekjen Partai. Namun sejarah membuktikan lain. Stalin-lah yang menang. Ia membuang Trotsky ke luar negeri dan kemudian membunuhnya. Ia menyeret Zinonev ke Pengadilan, bersama seluruh bekas pimpinan teras Partai Komunis semasa Lenin. Mereka dipaksa mengaku jadi spion asing, berkomplot membunuh para tokoh. Dan rakyat pun dikerahkan untuk berseru: "Tembak saja anjing-anjing gila itu!"

Di RRC tak jauh beda. Kita boleh ingat akan sejarah. Baru sebulan setelah Mao mati, jandanya yang ambisius dituduh berkomplot. Mungkin benar. Tapi bisakah kita percaya bahwa kasak-kusuk, intrik, fitnah,
dan persengkongkolan rahasia hanya dilakukan oleh kaum radikal?

"Jangan berkomplot," begitu nasihat Mao sebelum meninggal. Munngkin ia percaya bahwa Partai Komunisnya punya mekanisme untuk mengatur peralihan kepemimpinan. Mekanisme itu memang ada: dalam pemerintahan
komunis, sang partai memang menyediakan kesempatan bagi sejumlah pemimpin teras untuk bebas mengeritik, memilih, dan dipilih. Mereka bukan bawahan si pemimpin yang sedang berkuasa. Itulah sebabnya tokoh No 1 seperti Khruschev di Uni Soviet bisa diturunkan tanpa kekerasan. Di Vietnam, Paman Ho Chi-minh juga bisa digantikan sonder heboh.

Tapi, betapapun juga, kompetisi yang tertutup antara kalangan atau penguasa, seperti di Peking, selalu melahirkan pelbagi bentuk konspirasi. Suasan bisik-bisik serta awas-mengawasi pun berkecamuk.
Bila bicara terus-terang bisa berbahaya, ornag memang akan memilih bungkam. Dan bila bungkam bisa jadi bentuk "komunikasi politik", keserba curigaan pun menjangkiti para pemimpin. Suara bersin di sini bisa dianggap bersengkongkol dengan suara bersin di sana. Bahkan mendung pun tak luput bisa dianggap sabotase.

Maka bila kini di sini "Indonesia" di hari-hari terakhirnya, SBY makin parah dengan kebusukan itu. Kepada bawahanya ia suka bertanya menyelidik. Yang ditanya esok harinya bisa masuk bui, mengigil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline