Suatu hari saya diminta untuk memberkati Pernikahan oleh Pastor Paroki. Itu merupakan pengalaman pertama bagi ku. Oleh karena itu, saya berusaha mempersiapkannya dengan sebaik mungkin.
Hal pertama yang kupersiapkan ialah renungan atau kotbah. Untuk teks Kitab Sucinya, saya menggunakan teks yang sudah tertera dalam buku Pemberkatan Pernikahan.
Awalnya saya menyusun kotbahku dalam bahasa Indonesia. Itu sesuai dengan buku Perayaan Pernikahan yang diberikan kepadaku. Oleh Katekis, saya diberi buku Perayaan Pernikahan yang versi bahasa Indonesia.
Setelah kotbah ku selesai, fokus saya tertuju kepada ritus-ritus yang digunakan dalam Perayaan Pernikahan. Karena merupakan pengalaman perdana, maka sebisa mungkin ritus-ritus yang ada saya hafal agar tidak salah ketika mempraktekkannya.
Tibalah hari di mana saya akan melakukan pemberkatan pernikahan. Meskipun segala sesuatunya sudah saya persiapkan, namun ada yang mengganjal di hatiku yaitu tentang kotbah ku.
Saya tahu kalau orang yang akan saya berkati nantinya berasal dari sebuah desa yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Nias. Dari informasi yang saya dapatkan, mereka jarang menggunakan bahasa Indonesia.
Kemampuan bahasa Indonesia mereka masih kurang. Oleh karena itu saya khawatir jika mereka tidak bisa mengerti apa yang menjadi isi kotbahku dalam perayaan tersebut.
Tiba-tiba timbul dalam pikiranku untuk membuat kotbah dalam Bahasa Nias. Saya mengambil waktu beberapa saat untuk menterjemahkan isi kotbahku ke dalam bahasa Nias.
Saya tahu itu sulit karena bahasa Niasku masih kacau. Namun tekadku kuat agar apa yang menjadi pesan Tuhan dalam Perayaan tersebut bisa mereka pahami dengan baik.
Setelah selesai saya terjemakan, saya meminta kepada katekis untuk memeriksa kosa kata bahasa Niasku, dan menurut penilaiannya, secara umum bahasa Niasku cukup baik dan beliau menjamin kalau para umat yang hadir pasti bisa mengerti isinya.