Tidak ada yang Tahu Bahasa Indonesia
Suatu kali saya diminta oleh pastor paroki untuk melakukan kunjungan ke sebuah stasi yang berada di pegunungan. Karena belum tahu lokasinya di mana, maka saya ditemani oleh seorang katekis. Katekis tersebut menyarankan agar saya mengenakan sepatu bot karena kami akan melewati hutan yang jalannya berlumpur. Kebetulan saat itu adalah musim hujan.
Dari paroki, kami mengendarai sepeda motor. Lalu kami berhenti di sebuah desa untuk menitipkan sepeda motor kami di sana. Kami tidak bisa membawanya ke stasi yang kami tuju karena kondisi jalannya yang tidak mendukung. Akhirnya dari desa tersebut kami berjalan kaki.
Setelah berjalan sekitar satu setengah jam, tibalah kami di tempat tujuan. Di situ sudah disediakan ember yang berisi air untuk pembasuhan kaki. Lalu setelah membasuh kaki, saya segera masuk ke dalam gereja untuk menyapa dan menyalam umat yang sudah hadir.
Tiba-tiba saya berkata demikian kepada seorang ibu di tempat itu: "Ya'ahowu Natal ina (Selamat Natal ibu)". Kebetulan saat itu adalah masa Natal.
Ibu tidak menjawab. Tetapi beliau tetap menyalam saya.
Lalu ibu tersebut bertanya kepada katekis yang bersama saya, demikian "Hadia ni'o'wao amada mege" yang artinya "Apa yang dikatakannya barusan?".
Katekis itu memberitahukan kepada ku bahwa bahasa Nias untuk Natal ialah Fanunu wadru, meskipun sebenarnya kata Natal itu sendiri sudah sangat umum dan dimengerti oleh kebanyakan dari orang Nias. Sebenarnya saya pun heran karena baru kali itu sapaan saya yang berbunyi "Ya'ahowu Natal" tidak berbalas.
Akhirnya saya mengulangi sapaan ku dan ibu itu pun bisa menjawabnya sambil tersenyum.
Selama berada di stasi tersebut, saya kesulitan untuk berbicara kepada mereka karena harus menggunakan bahasa Nias yang murni. Kalau di tempat lain, saya masih bisa menggunakan bahasa Nias yang "campur-campur" dengan bahasa Indonesia, tetapi di tempat itu tidak bisa sama sekali. Itu karena di stasi tersebut tidak seorang pun yang tahu bahasa Indonesia.