Lihat ke Halaman Asli

Dedy Padang

Orang Biasa

Isolasi Mandiri: Bukan soal Tega tetapi Peduli

Diperbarui: 2 September 2020   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

poskomalut.com

Teman kami baru saja kembali dari luar kota. Kota tempat ia pergi sebelumnya berada dalam status zona merah terhadap covid-19 dan tempat kami berada pun masih dalam status zona merah karena pasien yang terinfeksi selalu bertambah seturut laporan dari dinas kesehatan.

Akhirnya dengan berat hati akhirnya kami memutuskan untuk meminta teman kami tersebut untuk isolasi mandiri. Kami telah memiliki satu rumah khusus yang berada jauh dari keramaian. Rumah itu terletak di atas sebuah gunung namun akses jalan ke tempat itu mudah dilalui.

Sesungguhnya kami menyadari bahwa keputusan itu melawan rasa persaudaraan kami terhadapnya. Tiba-tiba saja kami merasa seperti mengucilkan dia walau sesungguhnya dia belum tentu terinfeksi corona karena seperti yang telah diaturkan oleh pemerintah bahwa setiap orang yang hendak melakukan perjalanan ke luar kota harus mengikuti rapid test dan setiap orang harus dipastikan sehat. Itu artinya teman kami tersebut pun sesungguhnya dalam keadaan sehat.

Namun kewaspadaan kami terletak pada dugaan bahwa barangkali saat dalam perjalanan pulang ia telah bersentuhan dengan hal-hal yang belum dipastikan sterilitasnya terhadap covid-19. Boleh jadi dengan benda-benda atau makanan dan minuman atau pun orang lain yang berada di dekatnya.

Meskipun merasa tidak tega untuk memperlakukannya demikian namun demi kebaikan bersama kami harus mengisolasi dirinya. Boleh jadi bahwa ia akan merasa dikucilkan dengan perlakuan kami terhadapnya. Tetapi ini bukan lagi persoalan di mana rasa persaudaraan harus diperdebatkan. Kami pun tidak boleh menjebak dengan rasa itu. Di tempat kami berada pasien corona terus bertambah dan jika tidak segera diwaspadai dengan ketat maka pasien pun akan terus bertambah.

Ini semua tentang kepedulian akan kebaikan bersama. Dalam menghadapi pandemi ini bukan lagi sikap tega atau tidak tega yang menjadi ukurannya karena di mana dan kapan pun virus corona bisa menyerang. Untuk itu perlu selalu diwaspadai.

Memang inilah saatnya untuk kritis terhadap rasa hati yang acapkali membuat kita kehilangan logika berpikir secara rasional. Di mana-mana terdapat beberapa perilaku yang terjebak dengan rasa hati tersebut. 

Ada yang menjemput paksa jenazah keluarganya yang jelas-jelas dinyatakan positif covid-19 oleh rumah sakit tempat ia dirawat. Meskipun telah mendapat penanganan dari petugas namun keluarganya terus memaksa bahkan sampai menggunakan kekerasan. 

Ada juga yang, meskipun telah diinformasikan untuk melapor ke rumah sakit bagi mereka yang bersentuhan dengan pasien, tetapi karena takut dinyatakan positif maka tidak mau pergi. Bahkan ada yang sampai menipu orang lain dengan mengaku diri belum pernah bersentuhan dengan pasien yang dinyatakan positif terkena corona oleh rumah sakit.

Selain itu ada yang  mencemooh teman yang berusaha mengikuti protokol kesehatan dengan menyebutnya sebagai penakut atau tidak beriman. Ada yang menolak untuk mengikuti protokol kesehatan. Dan ada juga yang merasa malu untuk mengikuti protokol kesehatan saat berada di antara mereka yang tidak mengikuti protokol kesehatan, barangkali karena takut diejek.

Kita tidak pernah tahu saat kapan kita akan terinfeksi. Namun kita bisa memastikan bahwa terdapat kemungkinan besar kita tidak akan terinfeksi saat kita tekun dan taat mengikuti protokol kesehatan karena penyebaran virus ini selalu terjadi di antara diri kita sendiri dengan sesama yang ada di sekitar kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline