Suatu hari, dalam kerasulanku yang keempat di Gereja Stasi Maria Lourdes Bah Sampuran, Paroki St. Antonius Padua, Tiga Dolok, saya diminta oleh Ian, salah seorang OMK (Orang Muda Katolik), untuk melatih koor. Koor ini akan dilombakan dalam acara Natal bersama se-paroki. Saya menerima teks lagunya dan ternyata tidak asing bagi saya. Saya menerima tawarannya dan andalan saya ialah memori saya tentang lagu tersebut.
Sambil menunggu umat yang belum tiba, saya mengajak umat yang hadir untuk latihan koor setidaknya untuk pengenalan sedikit tentang lagu tersebut. Sebagai perkenalan saya meminta mereka untuk mengambil suara utama, yang dalam lagu itu ialah suara sopran. Saya tidak mengalami kesulitan untuk melatih mereka karena memang lagunya sudah biasa saya dengar dan pernah ikut menyanyikannya dalam suatu Perayaan Ekaristi.
Sesuai dengan kesepakatan, sehabis makan siang kami mengadakan latihan di rumah salah seorang umat. Saat semua orang telah berkumpul, saya mencoba untuk membagi mereka ke dalam kelompok suara. Karena jumlah mereka yang hanya 9 orang maka saya membagi mereka ke dalam 2 kelompok suara. Memang mereka sangat sedikit dan setiap hari Minggu hanya sejumlah itulah yang sering rajin pergi ke Gereja.
Karena suara sopran sudah saya latih di gereja sebelum ibadat sabda dimulai, maka saya tidak lagi melatih mereka. Fokus saya ialah pada suara yang lain. Pertama saya coba untuk melatih suara alto. Mungkin karena saya sering masuk suara alto saat ada koor di Seminari maka saya tidak kesulitan untuk melatih mereka.
Persoalan muncul saat saya meminta mereka untuk menyanyikannya bersama dengan suara sopran. Mereka tidak bisa melakukannya. Suara mereka "lari semua". Baik suara sopran maupun suara alto, mereka sama-sama kehilangan suara alias lari dari not yang ditentukan. Saya tertawa mendengarnya namun saya tidak bermaksud untuk mengejek mereka.
Saya kembali melatih mereka. Pertama, saya melatih suara sopran yang seharusnya mereka tidak mudah terpengaruh dengan suara alto. Ternyata mereka masih ragu-ragu dalam menyanyikannya. Saya meminta mereka bernyanyi dengan volume suara yang keras untuk menghilangkan keraguan mereka.
Setelah kedengaran sudah baik, maka saya melatih suara alto. Dan tidak butuh waktu lama mereka pun bisa menyanyikannya.
Namun ketika saya meminta mereka untuk bernyanyi bersama, yaitu sopran dan alto, ternyata hasilnya hampir tidak berbeda dengan penggabungan yang pertama. Saya tetap bersabar. Saya ikut menyanyikan suara alto dan hasilnya suara alto baik tetapi suara sopran tidak. Saya coba ikut dengan suara sopran, giliran suara alto yang tidak pas. Akhirnya kami pun tertawa bersama.
Ketika jam telah menunjukkan pukul 15.00 WIB kami berhenti latihan karena saya harus kembali ke seminari. Sebelum pulang saya minta mereka untuk latihan sendiri-sendiri di rumah atau membuat jadwal latihan bersama di antara mereka.
Sesampainya di seminari saya termenung dengan pengalaman melatih koor di stasi tersebut. Pengalaman itu adalah pengalaman pertama dalam hidupku. Untuk seumur hidupku, itulah pertama kali bagi saya untuk melatih koor. Alasannya ialah satu dan alasan ini tepat kiranya, yaitu karena suara saya fals.
Di seminari, saat kami membawakan koor di Gereja, saya hanya mengandalkan suara teman yang ada di sebelah kanan dan kiri saya. Saya memang tidak berbakat dalam bernyanyi.