Lihat ke Halaman Asli

Dedy Padang

Orang Biasa

Riwayat Hidup Santo Yohanes Paulus II

Diperbarui: 24 Juli 2020   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masa Muda dan Perjalanan Panggilan

Karol Josep Wojtyla (nama asli Paus Yohanes Paulus II)[1] lahir di Wadowice, Polandia pada tanggal 18 Mei 1920 dari pasangan Karol Wojtyla (seorang opsir pada tentara kekaisaran Habsburg Austria) dan Emilia Kaczorowska Wojtyla. Dia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Sebagai keluarga Katolik tulen, dia dibaptis oleh Pastor Franciszek Zak pada tanggal 20 Juni 1920.

Seperti kanak-kanak lainnya, pertumbuhan Karol Wojtyla dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, terutama kontak intensifnya dengan komunitas Yahudi di Krakw. Namun, perkembangan mental-kepribadian dan pemikirannya justru dibentuk oleh situasi derita yang senantiasa merajam diri dan kehidupannya sedari kanak-kanak.

Tatkala masih berusia sembilan tahun, dia harus kehilangan sang ibu tercinta yang meninggal dunia tahun 1929. Pada tahun 1932, Edmund, saudaranya juga meninggalkannya untuk selamanya. Kepergian Sang Ibu dan saudaranya tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan dan memperjuangkan hidupnya. Walau terasa berat dia mampu menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas.

Demi menggapai impiannya, dia dan ayahnya memutuskan untuk menetap di Krakow supaya bisa melanjutkan kuliahnya di bidang filologi bahasa Polandia, Fakultas Filsafat, Universitas Jagiellonia. Akan tetapi pergumulannya untuk menuntut ilmu di tahap ini justru terhenti karena pada 1 September 1939 terjadi Perang Dunia II.

Selama periode Perang Dunia II ini, universitas-universitas ditutup dan sejumlah guru besar disekat oleh penguasa Jerman di kamp konsentrasi di Sachenhausen. Untuk menyelamatkan diri dari aksi deportasi ke Jerman, maka sejak tahun 1940 hingga 1944, dia menjadi buruh di pertambangan batu dan pabrik kimia Solvay.

Dalam situasi tragis yang dijalaninya akibat Perang Dunia II, dia harus kehilangan ayahnya untuk selamanya (tahun 1941). Namun, kepedihan dan kesepian yang menghantui dirinya karena harus melanjutkan kehidupannya sebatang kara tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan kehidupannya, tetapi justru semakin memotivasi dirinya untuk menggapai impiannya, yaitu menjadi imam supaya bisa mendekatkan dirinya dengan orang-orang yang menderita dan berbuat untuk mereka.

Demi mewujudkan impian sucinya ini (menjadi imam), dia mengawali pendidikan seminarisnya secara klandestin[2] di bawah bimbingan Kardinal Adam Stefan Sapieha, Uskup Agung Krakow.

Sebagai seminaris, dia berusaha mengembangkan aneka potensi yang dimilikinya. Berkat kemauan dan kerja kerasnya ini, dia menjadi seorang olahragawan, pemain sepak bola, pemain sandiwara, penulis sandiwara dan menguasai beberapa bahasa, seperti bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, Inggris dan bahasa Latin Gerejawi. Untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya dalam bidang teater, dia bersama seminaris lainnya mendirikan "Teater Rhapsodik."

Setelah Perang Dunia II berakhir (tahun 1944), sekolah-sekolah tinggi, termasuk Seminari Tinggi dibuka kembali dan para seminaris kembali bergumul dengan hari-hari mereka di bangku studi. Dia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Teologi Universitas Jagiellonia.

Pada tanggal 1 Nopember 1946, dia ditahbiskan menjadi imam dan langsung ditugaskan untuk belajar di Universitas Angelicum di Roma. Di bawah bimbingan Garriou-Lagrange seorang teolog dari Ordo Dominikan, dia menulis dan mempertahankan tesis doktoralnya dengan tema: "Doctrina de fide apud Sanctum Ioanneum Cruce" (Ajaran Iman Dalam Kesaksian Santo Yohanes dari Salib) pada tahun 1948.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline