Lihat ke Halaman Asli

Dedy Padang

Orang Biasa

Fungsi Para Imam Katolik dalam Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum Ordinis) Nomor 4-6

Diperbarui: 7 Juli 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

PENGANTAR

Dalam KHK 1983, dikatakan bahwa Sakramen Imamat meliputi episkopat, prebiterat, dan diakonat (kan 1009 1). Berbicara tentang pelayanan imamat tidak pernah lepas dari perihal fungsi-fungsi imamat menurut tingkatannya dalam hierarki yang lahir dari tahbisan yang diterima: uskup, imam dan diakon. 

Tahbisan menjadi otoritas untuk menjalankan fungsi masing-masing yang disebut sebagai tugas. Tugas ini sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang disebut diakonia atau pelayanan.[1]

 Para Imam, Pelayan Sabda Allah

 Fungsi ini didasarkan pada perintah Tuhan: "Pergilah ke seluruh dunia, wartakanlah Injil kepada segala makhluk" (Mrk 16:15). Sebagai pelayan Sabda Allah berarti para imam mewartakan Sabda Allah. Sabda Allah itu membangkitkan dan menumbuhkan iman: "Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh sabda Kristus" (Rm 10:17). 

Sabda itu juga menghimpun umat Allah (lih 1 Ptr 1:23, Kis 6:7, 12:24) dan itu keluar dari mulut imam. S. Agustinus mengatakan bahwa para Rasul mewartakan Sabda Kebenaran dan melahirkan Gereja-Gereja. 

Dengan demikian, para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang dan itu merupakan tugas pertama dari para imam.[2]

Dalam mewartakan Sabda Allah, para imam mesti menyesuaikan isi pewartaan dengan situasi hidup konkret para pendengarnya. Sabda Allah itu harus mengacu pada makna hidup manusia dan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari suara hati manusia.[3] 

Isinya hendaknya jangan diuraikan secara umum dan abstrak saja. Mereka juga perlu menguraikan ajaran Gereja atau mengkaji masalah-masalah aktual dalam terang Kristus.

Selain itu, pewartaan Sabda Allah dilakukan dengan menyampaikan kebenaran Ilahi dan mendesak orang untuk bertobat dan memperoleh kekudusan. Para imam, dalam menyampaikan Sabda Allah, tidak menyampaikan kebenarannya dan kebijaksanaannya sendiri. 

Secara khusus dalam berkothbah, para imam tidak boleh membatasi kothbahnya pada pengalaman pribadi, penjelasan-penjelasan sederhana yang bersifat psikologis, sosiologis atau humaniter. Juga dihindarkan penitikberatan pada retorika.[4]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline