Lihat ke Halaman Asli

Hilangnya Nurani di Tengah Ketidakadilan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mau dibawa kemana negeri ini!? Pertanyaan klise tentang sebuah bangsa yang kehilangan jati dirinya, setelah masa demi masa kepemimpinan dilalui dengan berbagai dialektika kehidupan sosial yang berbeda satu sama lain.
Era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang katanya membuka kran demokratisasi menjadi lebih baik. Namun, kenyataan yang kita lihat sekarang seakan menafikan semua cita-cita luhur yang didengungkan mana kala mahasiswa dan berbagai elemen menggulingkan kepemimpinan Orde Baru demi sebuah perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa.

Kita tidak akan pernah lupa peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Peristiwa Gejayan berdarah di Jogja dan peristiwa – peristiwa lain yang menorehkan tinta hitam di akhir pemerintahan Orde Baru.

Namun, setelah sekian tahun berlalu, apakah kehidupan berbangsa kita semakin membaik? Euforia demokratisasi tergerus oleh kemunafikan atas dasar demokrasi dan kebebasan berpendapat. Berbagai Ormas mengatasnamakan rakyat atau agama tertentu untuk membelenggu kebhinekaan yang sejak berdirinya bangsa ini dilekatkan dalam kehidupan berbangsa agar menjadi jiwa setiap anak bangsa dengan mengkebiri kebebasan beragama dan beribadah agama lain.

Demikianpun dengan mereka yang mengatasnamakan rakyat dan pelayan masyarakat (birokrat) dari tingkat pusat hingga daerah yang dengan seenak hati mengoyak tatanan sosial dan kultur masyarakat dengan tingkah polah seperti preman jalanan yang tidak mengenal etika. Korupsi tanpa rasa malu, arogan dengan kekuasaan yang dimiliki dan kemaksiatan (poligami/pernikahan siri) yang diselimuti dengan lipstik hak asasi serta pembenaran oleh agama. Bahkan empati pun seakan menjadi barang langka bagi kalangan wakil rakyat yang dengan arogan menggunakan uang rakyat untuk memupuk kenyamanan dengan menafikan kehidupan sosial masyarakat yang masih terbelenggu oleh kemiskinan dan kebodohan.

Entah sampai kapan hal ini terjadi... kritik hanya menjadi “korek telinga” dan jeritan kaum jelata “bak lolong anjing yang sebentar saja menghilang”.

Bisu, tuli dan dungu sudah sewajarnya disematkan pada mereka yang dengan pongah mengatasnamakan rakyat tapi menutup telinga dan nurani melihat ketidakadilan dan kemarahan rakyat yang mendambakan keadilan.
Semoga masih ada kesejukan hati diantara kepingan angkara dan hawa nafsu manusia serakah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline