Lihat ke Halaman Asli

The Chronicles of Landang Coffee: The Qahwah, The Arabian and The Agent of Change

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peziarah-peziarah muslim Timur Tengah tempo dulu telah benar-benar sukses ‘menebar’ kekuatan melalui komoditas dagang yang mereka bawa ke Indonesia”

Mungkin para peziarah-peziarah muslim Timur Tengah akan sedikit kaget jika melihat pesatnya perkembangan kopi di Indonesia sekarang ini, bermula pada kunjungan dagang mereka di tahap awal tahun 1600 sembari membawa komoditas dagangnya berupa biji kopi. Setiap melangkah kini, rasa-rasanya  siapapun dengan gampangnya menemukan tempat kongkow untuk ngopi. Kedai atau cafe kopi begitu mudah sekali ditemukan sekarang, entah di daerah urban apalagi pusat-pusat kota besar.

Mungkin kesamaan pada tiga orang semi-bolanger sebagai penyuka kopi inilah yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk berkunjung pada salah satu kedai kopi di jalur alternatif utama Jagakarsa ini–yakni Jalan Paso. Selat Malaka-nya Jagakarsa ini–jalur lintas alternatif para commuter Jakarta-Depok pun sebaliknya–lokasinya tepat berhadap-hadapan langsung dengan sekolah Cita Buana, menambah tingginya potensi pengunjung terutama pada sore menjelang malam.

Bagi para penyuka kopi, kedai kopi bernama Ladang Coffe ini  memberi imaji yang sungguh menarik akan sebuah hamparan lahan penuh dengan buah-buah kopi mengelilingi  serta  mencipta suasana yang akan menambah nikmatnya ngopi nantinya. Tapi tentu saja realita yang didapati di dalam bukanlah panorama kebun penuh kopi sesungguhnya!

Suasana Ladang Coffee

Sekitar 20-40 tahun yang lalu,  menyinggahi tempat-tempat ini seperti mimpi saja, karena hanya kaum-kaum borjouis dan kalangan intektual terbatas yang dapat mengakses cafe-cafe sebagai sarana mereka berkumpul–berdiskusi hingga menciptakan banyak perubahan di Indonesia. Dunia sekarang benar-benar telah berubah,  berbagai tempat telah sebegitu mudahnya untuk diakses. Meski berkumpulnya sepertinya lebih sering kepada diskusi-diskusi ringan seputar kabar karir, kampus atau keluarga.

Duduk di salah pojok cafe ini, menjadi pilihan sepakat untuk kami bertiga. Tidak lama, seorang pelayan menghampiri dan berujar, “Selamat datang, ada yang bisa dibantu untuk dipesan?”, sambil memberikan menu kafe yang saya kira kalender awalnya. Karena sepertinya masih lama untuk memesan, saya katakan, “Nanti dulu yak mba.”

IMG_0608[1]

Ternyata kami benar-benar lama untuk memesan! Karena variasi dari jenis kopi dan makanan telah berhasil memikat dan menggoda untuk dipilih, dipesan serta dinikmati. Berbagai jenis kopi Nusantara hadir memenuhi daftar pilih, hingga akhirnya saya memilih salah satu kopi single origin Aceh Gayo sebagai rekan ngobrol-ngopibersama yang lainnya. Kisaran harga kopi single origin adalah 15 ribuan, dan untuk milk-based dipatok 20 ribu lebih, dan 60 ribu untuk menu kopi luwak.

Mengisi siang hingga sore dengan silaturahim ala “kopi-darat”–dalam arti yang sesungguhnya ini benar-benar membangkitkan banyak cerita untuk disampaikan–dibagi hingga mungkin didiskusikan alih-alih dapat memberikan solusi alternatif satu sama lain. Begitulah kopi menjadi penghantar unik bagi masing-masing orang dan komunitas. Menjadi rekan-rekan setia bagi para perubah peradaban zaman melalui pandangan baru yang disebarluaskan, bicara karya yang lahir dari malam-malam panjang di kedai kopi tempo dulu hingga sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline