Lihat ke Halaman Asli

Rakyat dan Legitimasi Kesalahan Penguasa

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tempat Pembuangan Akhir Kesalahan

Ketika alasan pemerintahan sudah diujung tanduk maka rakyat merupakan tempat pembuangan akhir dari kesalahan-kesalahan yang notabene dibuat oleh pemerintahan terdahulu. Kondisi itu sudah mulai terlihat misal salah satunya ketika kita berbicara terkait perizinan baik pembangunan/ pendirian ataupun bentuk usaha yang erat kaitannya dengan proses izin pemerintahan.

Kondisi tersebut terus berlangsung sampai saat ini, keluhan-keluhan pemimpin baru terhadap kepemimpinan sebelumnya terus terjadi yang disatu sisi tetap menjalankan sistem yang sebelumnya akan tetapi disisi lain ikut membuka peluang kesalahan baru. Dan itu akan terus menerus berlangsung sampai pada akhirnya kesalahan bukan lagi milik pemerintahan akan tetapi rakyat kecil yang diberi peluang dan diajak bahkan dipungut untuk masuk dalam permufakatan jahat (ilegal).

Tentu masalah itu jangan dianggap hal biasa akan tetapi merupakan bentuk kejahatan yang berdampak besar terhadap kualitas para generasi penerus yang terus menerus menjadi (bom waktu) korban kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya. Kepastian legalitas (hukum) semakin menjauh dan menjadi bom waktu yang terus menerus dipelihara dan membentuk karakter korup baik di pemerintahan sendiri ataupun masyarakat secara umum.

Situasi dan kondisi itulah menurut pandangan penulis sebagai salahsatu faktor yang menyuburkan karakter suap menyuap (korup). Dengan tidak adanya kepastian, maka rakyat dipaksa untuk ikut mengeluarkan sejumlah uang sebagai alat penjinak dan begitupun pemerintahan telah menjadikan rakyat sebagai lahan eksploitasi yang tersistematis.

Lingkaran Kesalahan

Ketika semua kesalahan berujung di rakyat (penggusuran, pemidanaan dll) tanpa solusi yang jelas maka patut dipertanyakan kembali peran dan fungsi pemerintahan untuk kepentingan publik telah berlabuh dimana dan kemana?, mungkinkah semuanya berlabuh dipangkuan para kapitalis yang terus menerus mengembangkan usahanya tanpa melirik aspek sosial dan rencana tata ruang dan wilayah, ketika dominasi kapitalis telah masuk dan mendarah daging di lingkungan birokrasi maka kembali pada dalil bangunan-bangunan ilegal yang selama ini telah didiami oleh masyarakat kecil harus diratakan, padahal dibalik itu juga para kabir (kapitalis birokrat) telah memakan uang-uang haram hasil pungutan yang terkadang dipaksakan.

Dilain situasi dan kondisi dalil-dalil yang mengatasnamakan permintaan masyarakat (pasar) tumbuh merambah ke lahan-lahan produktif yang hanya sekedar untuk memuluskan dan menjembatani golongan masyarakat menengah ke atas wungkul, misal perumahan dan pabrik.

Beberapa kondisi di atas kini telah mulai masuk menggerogoti wilayah pedesaan, karakter-karakter korup sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar, rakyat sudah mulai menganggap wajar ketika keberhasilan hanya untuk orang-orang berada saja dan rakyat sudah mulai menganggap wajar ketika dirinya atau keluarganya tidak memiliki akses untuk pintar dan sehat. Tentu saja itu semua merupakan kegagalan pembangunan masyarakat indonesia (pemerintahan) yang perlu terus menerus diperbaiki oleh kita semua “bahwa rakyat sebagai tuan, birokrat sebagai pelayan”.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sampai saat ini (minimal didaerah penulis) karakter-karakter gaya kepemimpinan Ahok adalah karakter yang sangat dibutuhkan, perlu seseorang yang mampu dan berani memutuskan lingkaran permasalahan bukan hanya sekedar memutuskan akan tetapi dengan solusi nyata, terukur dan bertanggungjawab bukan hanya terhadap konstituen akan tetapi konstitusi.

Karena sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kejelasan hukum/peraturan telah menjadi penyakit yang terus menerus menggerogoti publik, dan itu telah menyebabkan tumbuh suburnya praktek suap, calo berbaju besi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berkedok keagamaan ataupun yang hanya didirikan sekedar untuk bisa memancing di dalam air keruh saja (tidak semua tapi ada). Kegagalan itu akan berlangsung terus menerus terwariskan jika tidak ada political will dari para pemangku kebijakan terutama yang baru. Dengan harapan bahwa lingkaran kesalahan itu terputus dan membentuk jalan baru untuk membangun sumber daya manusia yang bertanggungjawab terhadap kepentingan seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline