Kendati pemilihan presiden masih beberapa tahun lagi, akan tetapi euforia dimasyarakat Indonesia sudah mulai terasa.
Padahal bursa pencalonan presiden di 2024 akan didominiasi wajah-wajah lama, meski presiden Jokowi tidak dapat dicalonkan kembali mengingat Undang-Undang Dasar '45 membatasi jabatan seorang presiden hanya 2 priode.
Tetapi ada saja wacana segelintir orang yang menginginkan Presiden Jokowi 3 priode dengan mengamandemen Undang-Undag Dasar '45.
Terlepas dari itu, pemilihan presiden di 2024, tetap saja partai besar yang mempunyai mayoritas di Parlemen yang dapat mencalonkan presiden.
Mengingat penerapan ambang batas pencalonan presiden ( Presidential thershold ) itu 20 persen perolehan kursi di DPR, masih menjadi perdebatan, sebab penerapan ambang batas 25 persen suara akan mengubur partai kecil mencalonkan Presiden apalagi maju sebangai independen hal yang mustahil.
Pada akhirnya masyarakat dipaksa untuk menerima, kalau saja ambang batas Presiden dihapus akan banyak masyarakat memilih konstestan Pilpres yang benar-benar mampu memimpin Indonesia 5 tahun kedepan.
Selain itu aturan ambang batas Presiden memaksa partai-partai gurem mengikuti kemauan partai besar dalam pencalonan Presiden.
"Menurut pengamat Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta yang juga mantan Dosen IISIP Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, partai besar akan semena-semena menentukan siapa yang akan diusung pada setiap pilpres. "Masyarakat akhirnya harus menerima capres dan cawapres yang diputuskan partai besar," demikian kata Jamaludin dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin (24/5)
"Akibatnya pasangan yang diajukan setiap Pilpres menjadi terbatas. Celakanya pasangan yang kerap kali diajukan tidak diharapkan sebagian masyarakat karena pertimbangan banyak hal, kata M. Jamiluddin Ritonga, yang juga pernah menjadi dosen penulis.(dm).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H