Lihat ke Halaman Asli

Menata(p) Jakarta bersama Anies-Sandi

Diperbarui: 1 Mei 2017   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan kepala daerah provinsi DKI sangat menyita perhatian publik nasional, juga tak luput dari sorotan media manca negara. Ada dua hal pokok yang menjadi daya tarik perhatian publik. Pertama DKI adalah ibu kota negara sehingga menjadi pusat perhatian perwajahan Indonesia. Kedua para kontestan yang energik dan syarat pengalaman dalam berbagai bidang.

Situasi politik mulai panas ketika para kandidat mulai mengeluarkan jurus untuk merebut suara (hati) rakyat. Pertarungan secara demokratis menggugurkan salah satu pasangan calon yakni Agus-Silvi.  Pada putaran kedua jurus yang digunakan semakin runcing menikam lawan dan memadu janji-janji manis bagi rakyat Jakarta. Tepat pada 19 April berdasarkan hitung cepat beberapa lembaga survei menunjuk kemenangan telak bagi Anis-Sandi.

Kemengan Anis-Sandi disambut bahagia oleh pendukungnya. Mereka mendeklarasikan kemenangan jauh sebelum beberapa lembaga survei menunjukan seratus persen sura masuk. Sebaliknya kekalahan Ahok-Djarot membawa kesedihan yang mendalam bagi para pendukungnya. Mereka belum mampu move on. Agar pendukung Ahok-Djarot dapat move on maka cara terbaik adalah menepati janji politik. Move on berarti berdamai dengan masa lalu dan butuh proses.

Seusai pilkada, tensi politik mulai reda setelah lama diwarnai kompanye hitam berbau sara dan sebagainya. Namun ada dua hal menarik yang terjadi seusai pilkada yakni tagih janji pendukung dan karangan bunga.

Dipenuhi rasa kebahagiaan dan kesombongan yang terselubung, pendukung Anis-Sandi meminta agar pendukung Ahok-Djarot yang menepati nazarnya. Janji para pedukung ini pada waktu pencalonan hingga pada hari pemungutan suara luput dari perhatian, sebab janji politik lebih penting. Tapi secara diam-diam direkam oleh lawan politik.

Pada kasus pilkada Jakarta, ada pendukung Anis-Sandi meminta agar para pendukung Ahok-Djarot menepati nazar. Bagi saya, janji para pendukung Ahok-Djarot sangat ekstem melebihi janji politik jagoannya. Misalnya janji potong kuping oleh Ruhut Sitompul. Janji potong kuping itu pun ditantang oleh seorang ibu yang mengatakan bahwa ia akan memotong payudaranya jika Anis-sandi menang.

Selain itu ada juga seorang teman facebook saya yang bernazar. Sekalipun ia bukan warga DKI tapi ia berjanji bahwa jika Ahok kalah maka ia akan pindah fakultas. Dan setelah Ahok dinyatakan kalah ia mengklarifikasi dan menyatakan bahwa tidak siap.

Bagi saya tak penting, apakah nazar itu ditepati atau tidak. Bernazar seperti ini hanyalah sebuah janji penuh emosional. Cinta yang dalam terhadap seseorang akan menuntut segala upaya melebihi kemampuan diri. Kita harus belajar dari janji Anas Urbaningrum menyatakan siap digantung di Monas jika ia terbukti korupsi pada kasus Hambalang. Ia telah terbukti melakukan tindak pindana korupsi dan pencucian uang dan sedang melaksanakan hukuman. Apakah ia harus digantung di monas? Sekali lagi tidak penting. Seorang koruptor tak layak “ditinggikan”  pada monumen kebanggaan bangsa.

Kekalahan Ahok-Djarot diganjar dengan gelombang simpati yang luar biasa dari para pendukung. Ganjaran ini bukan hanya semata-mata karena kekalahan tapi juga kemenangan Ahok-Djarot dalam melayani masyarakat. Masyarakat merasa dilayani dengan sepenuh hati oleh Ahok-Djarot.

Karangan bunga menghiasi Balai Kota dan sekitarnya, usai Ahok-Djarot kalah. Karangan bunga itu diberikan oleh pribadi, keluarga dan juga komunitas sebagai ucapan terima kasih atas pengabdian. Masyarakat berbondong-bondong ke Balai Kota dan rela menunggu untuk berfoto bersama pak Ahok.  Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline